A. STUDI
KASUS “ED”
1. Identitas
Nama Klien : ED
Tempat/Tanggal
Lahir : Klaten, 23 Juli 1993
Sekolah :
SMK Negeri 8 Semarang
Agama : Kristen
Alamat : Semarang
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : IS
Tempat/Tanggal Lahir : Yogyakarta, 10 Januari 1971
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Berjualan mainan
anak-anak
Agama : Kristen
Alamat :
Semarang
Nama Ibu : PW
Tempat/Tanggal Lahir : Klaten, 3 Maret 1973
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : -
Agama : Kristen
Alamat :
Semarang
SUSUNAN
KELUARGA
No |
Nama |
Tempat/Tanggal Lahir |
Status |
Pendidikan |
Pekerjaan |
1 |
IS |
Yogyakarta, 10
Januari 1971 |
Ayah |
SMP |
Dagang |
2 |
PW |
Klaten, 03
Maret 1973 |
Ibu |
SMP |
Ibu
Rumah Tangga |
3 |
ED |
Klaten, 23
Juni 1993 |
Klien |
SMK |
Pelajar |
4 |
DN |
Wonosobo, 24
November 1994 |
Adik
Klien |
SMK |
Pelajar |
GENOGRAM
KELUARGA “ ED ”
Keterangan :
2. Latar
Belakang Kehidupan Klien
ED merupakan anak pertama dari pasangan
Ibu PW dan Bapak IS yang lahir di Klaten, 23 Juli 1993. Ayah ED keturunan cina
sedagkan ibunya orang jawa asli. Saat ini ED duduk di Kelas XII SMK Negeri 8
Semarang Program Keahian Rekayasa Perangkat Lunak. ED mempunyai seorang adik
perempuan bernama DN yang juga bersekolah di SMK Negeri 8 Semarang Kelas X
Program Keahlian Pekerjaan Sosial. Ayahnya bekerja sebagai penjual mainan
anak-anak di depan SD Puri Anjasmoro dan SD Petompon Semarang, sedangkan ibunya
sebagai ibu rumah tangga. Dari berjualan mainan ayah ED mendapatkan keuntungan
Rp.50.000,- s.d Rp.100.000,- per hari.
ED termasuk anak yang tidak diharapkan oleh orang
tuanya karena ibunya hamil dengan ayahnya sebelum pernikahan (hamil sebelum
nikah). Sejak bayi ED diasuh oleh kakek dan neneknya dari pihak ibu di Klaten,
sedangkan ayah dan ibunya pada saat itu tinggal di Jogyakarta yang kemudian
pindah ke Semarang pada Tahun 2002. Sejak Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah
Menengah Pertama (SMP), ED bersekolah di Klaten bersama kakek dan neneknya, sedangkan
yang membiayai sekolah adalah orang tuanya. Setelah memasuki Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA), ED disekolahkan di Wonosobo oleh pamannya dari pihak ayah
yaitu di Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) program keahlian/jurusan Rekayasa
Perangkat Lunak (RPL). Kesibukan ED setelah sekolah adalah membantu pamannya
menjaga toko yang berjualan sembako. Hanya 1 (satu) semester ED sekolah di SMK
Wonosobo tersebut, kemudian ED dikembalikan oleh pamannya ke orang tuanya di
Semarang karena ED ketahuan minum minuman keras berupa bir dan mengambil uang
pamannya untuk membeli HP.
Pada Bulan
Januari 2008 memasuki semester 2 (dua) ED masuk ke SMK Negeri 8 Semarang pada
program keahlian yang sama yaitu RPL (Rekayasa Perangkat Lunak). Pamannya di
Wonosobo beranji akan membiayai sekolah ED sampai lulus SMK meskipun sudah
tinggal dengan orang tuanya di Semarang.
Sejak pertama kali tinggal dengan kedua
orang tuanya, ED merasa asing dengan mereka terutama dengan ayahnya karena
sejak ED tinggal dengan kakek dan neneknya maupun dengan pamannya, kedua orang
tua ED jarang mengunjunginya dan mereka mengunjungi hanya setiap 3 – 6 bulan
sekali. ED merasa tidak nyaman dan tidak betah tinggal dengan orang tuanya,
terlebih ED sering dimarahi dan disalah-salahkan oleh kedua orang tuanya karena
sudah tidak diperbolehkan tinggal dengan pamannya di Wonosobo, sehingga semua
kebutuhan sehari-hari ED orang tuanya yang menanggung karena pamannya hanya
membiayai sekolah / uang komite sekolahnya saja. Tak jarang pula ED mendengar
keributan kedua orang tua karena masalah ekonomi. Baru 3 bulan ED tinggal
bersama orang tuanya, ED disuruh membantu berjualan mainan di depan SD setelah
pulang sekolah. Hasil berjulan itupun diberikan pada kedua orang tuanya, dengan
setiap harinya ED diberi uang saku sebesar Rp. 3.000,- dan Rp. 5.000,- setiap 2
hari sekali untuk membeli bensin karena ED dan adiknya kalau berangkat ke
sekolah naik motor berboncengan.
Pada saat Kelas X dan Kelas XI semester 1
(satu), ED masih merasa semangat bersekolah dan belajar, sehingga nilai-nlai
dari semua mata pelajaran telah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). ED
bisa menerima sikap orang tuanya, terutama ayahnya yang sering marah-marah atau
ngomel-ngomel pada saat dia minta uang tambahan untuk membeli keperluan
sekolah. Memasuki semester 2 Kelas XI, ED dipinjami uang ibunya sebesar Rp.
175.000,- sebagai modal untuk berjualan mainan. Jadi ED tidak membantu ayahnya
berjualan lagi, tetapi ED sudah berjulan dengan barang dagangan sendiri setelah
pulang sekolah. Setelah berjualan selama kurang lebih 3 bulan, akhirnya ED
sudah bisa mengembalkan uang ibunya yang dipakai sebagai modal berjualan.
Pada suatu ketika, terjadi pertengkaran
yang hebat antara ED dengan ayahnya gara-gara ED minta uang Rp. 10.000,- untuk
mengkuti kegiatan renang di sekolah. Bahkan dalam pertengkaran itu ED dikatakan
ayahnya sebagai seorang homoseks. Hal inilah yang menyebabkan ED pergi dari
rumah dan tinggal di tempat saudaranya (pak De) di daerah sampangan selama 3
minggu. Sejak itu ayahnya merasa ED sudah bisa mencari uang sendiri sehingga
tidak harus minta orang tuanya. Sejak kepergiannya itu, ED setiap harinya
berjualan menjajagan mainan anak-anak dari SD yang satu ke SD lainnya dan tidak
pernah masuk sekolah selama 2 minggu berturut-turut. ED sama sekali sudah tidak
mempunyai keinginan untuk bersekolah lagi dan ingin mencari uang karena orang
tuannya sama sekali sudah tidak mempedulikan dirinya. ED harus berpikir keras
bagaimana dia mendapatkan uang karena orang tuanya sudah tidak mempedulikannya
lagi.
3. Gejala
Masalah
Pada Hari Sabtu, Tanggal 24 April 2010
orang tua ED ke sekolah menemui wali kelas dan guru BK karena mendapat surat
panggilan dari sekolah untuk menemui wali kelas dan guru BK sehubungan dengan
ketidakhadirannya selama 2 minggu dan tidak mengikuti UHT (Ulangan Harian
Terprogram) pada semester genap. Diperoleh informasi dari kedua orang tuanya
bahwa ED saat ini tinggal bersama pak de nya dan berjualan mainan. Kedua orang
tuanya berjanji akan membujuk ED untuk pulang ke rumah dan kembali bersekolah. Karena
dibujuk oleh kedua orang tuanya dan Pak de nya, akhirnya ED mau kembali ke
rumah orang tuanya dan masuk sekolah dan mengikuti UHT susulan. Setelah UHT, ED
mengikuti kegiatan Praktek Kerja Industri (Prakerin) di PT. Indosat Semarang.
Pada saat kenaikan kelas, ED dinyatakan
naik ke kelas XII tetapi tidak diijinkan untuk mengikuti kegiatan Praktek Kerja
Industri (Prakerin) di Kelas XII yang seharusnya dimulai sejak Tanggal 19 Juli
2010 karena belum menyelesaikan laporan prekerin
Kelas XI dan belum mengikuti uji laporan prakerin Kelas XI. Akhirnya sekolah
mengambil kebijakan agar ED segera menyelesaikan laporan prakerin dan segera
mengikuti uji laporan prakerin sehingga dapat melaksanakan prakerin di Kantor
Pemilihan Umum (KPU) Semarang. Menurut pengamatan praktikan yang dilakukan pada
Tanggal 31 Juli 2010 dan 2 Agustus 2010, ED kurang memiliki semangat dan
motivasi dalam menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah, yaitu segera
menyelesaikan laporan. Hal ini terlihat ED diperpustakaan hanya membaca koran
dan tidur-tiduran di loker perpustakaan. Dari nilai raport menunjukkan bahwa
nilai ED kelas XI mengalami penurunan jika dibandingkan kelas X, demikian juga
nilai raport kelas XI semester 2 sangat menurun.
Menurut pengakuan ED, dia sangat kelelahan
karena setelah pulang sekolah dia harus berjualan mainan anak-anak sehingga
tidak pernah belajar. Dia harus berpikir
keras untuk bisa mendapatkan uang setiap
harinya, karena orang tuanya sudah tidak mau memberinya uang, baik untuk uang
sakunya maupun membeli bensin setiap harinya. ED pun berpikir kalau kelas XII
ini banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan sekolah,
sedangkan orang tuanya sudah tidak pernah memberinya uang. Rasa-rasanya ED
sudah tidak betah tinggal bersama orang tuanya, sehingga ED jarang
berkomunikasi dengan ayahnya. Bahkan ada rasa dendam pada ayahnya karena sudah
3 (tiga) kali ED dikatakan ayahnya sebagai seorang yang mengalami homoseks. ED
merasa sakit sekali kalau mengingat perkataan ayahnya tersebut, bahkan tidak
akan pernah bisa melupakannya sampai kapanpun. Sampai dengan saat ini ED belum
mengikuti kegiatan prakerin yang seharusnya harus sudah diikuti sebulan yang
lalu. Sampai saat ini laporan prakerin juga belum diselesaikan oleh ED sehingga
uji laporan prakerinpun belum bisa dilaksanakan meskipun setiap hari ED
diwajibkan datang ke sekolah untuk menyelesaikan laporan prakerin tersebut.
4. Dinamika
Keberfungsian Klien
1.
Keberfungsian Fisik
Secara fisik
klien tidak menunjukkan adanya masalah dalam arti memiliki fisik yang normal
dan berpenampilan rapi. Berat badan klien 45 kg dan tinggi 165 cm, tubuh
langsing, rambut hitam lurus, hidung mancung, mata sipit dan warna kulit kuning
langsat. Gerakan lamban dan terkesan agak lemah gemulai, suara pelan, tidak
memiliki jerawat, mulai tumbuh jambang. Klien tidak mempunyai riwayat sakit
yang serius hingga sampai opname di rumah sakit, sedangkan sakit yang pernah
dialami hanya masuk angin, flu dan panas yang hanya beberapa hari saja. Mengenai
panca indera yang berkaitan dengan pendengaran, penciuman, perasa, peraba tidak
ada masalah tetapi yang berkaitan dengan penglihatan klien mengalami minus 3
sehingga harus memakai kaca mata. Dalam keluarga klien tidak pernah dibiasakan
untuk makan bersama bahkan kadang-kadang tidak ada makanan yang siap tersedia
karena harus membeli lauk mateng terlebih dahulu. Demikian pada saat berangkat
sekolah, klienpun jarang sarapan karena tidak selalu tersedia di rumah. Klien
juga tidak mempunyai kebiasaan rutin untuk berolah raga, hanya sesekali klien
menggerakkan badan setelah bangun pagi. Mengenai kebiasaan untuk tidur siang
hanya sesekali saja apabila tidak berjualan, sedangkan untuk tidur malam
sekitar pukul 21.00 WIB klien sudah tidur dan bangun pukul 05.30 WIB.
2.
Keberfungsian
Intelektual
Klien selama
menempuh pendidikan mulai SD sampai SMK kelas XI sekarang ini belum pernah
tinggal kelas, walaupun belum pernah memiliki prestasi yang tinggi. Semula
klien tidak memahami tentang komputer dan tidak tahu apa itu Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) program keahlian Rekayasa Perangkat Lunak (RPL). Di Wonosobo ED
mendaftar SMK Program Keahlian RPL hanya ikut-ikutan temannya.. Walaupun
demikian setelah mengikuti pelajaran kejuruan/produktif, akhirnya ED merasa
menyukai jurusan yang diambilnya itu. Hal ini terlihat dalam nilai-nilai raport
klien kelas X nilai-nilai produktif atau kejuruan termasuk kategori baik.
Prestasi belajar klien termasuk biasa-biasa saja dalam arti tidak begitu
menonjol atau mendapat peringkat di kelasnya. Mulai memasuki semester 2 kelas
XI nilai-nilai klien menururn bahkan pas dengan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Menurut pengakuan klien sebenarnya dia tidak mengalami kesulitan dalam
menerima dan memahami pelajaran di sekolah, tetapi karena klien sudah lelah
berjualan mainan anak-anak setelah pulang sekolah bahkan sampai jam 23.30 WIB itulah
yang menyebabkan klien jarang belajar pada malam harinya sehingga menyebabkan
nilai-nilainya hanya pas-pasan saja. Sesekali klien belajar atau mengerjakan tugas pada malam hari apabila ada
tugas akan dikumpulkan esok harinya. Mengenai pelajaran yang disukai klien
adalah pendidikan agama kristen dan guru yang disukai adalah Pak Hendi sebagai
guru agama kristen tersebut karena masih muda, pinter dan enak kalau
menjelaskan. Pelajaran yang tidak disukai adalah Ilmu Pengetahuan Sosial sedang
gurunya yang tidak disukai adalah Bapak Turmudi karena orangnya kalau
menjelaskan jarang dimengerti, sering marah-marah dan nilainya pelit katnya.
Klien sangat menyadari bahwa nilainya saat ini pas-pasan, tetapi klien hanya
pasarah karena dia tidak mempunyai waktu yang leluasa untuk belajar. Klien
merasa sudah lelah karena setelah pulang sekolah dia berjualan mainan sampai
sore hari menjelang maghrib bahkan sampai tengah malam sehingga ED sudah lelah
dan sudah tidak mempunyai waktu dan semangat untuk belajar.
1.
Keberfungsian Psikologis/Emosional
Klien
menggambarkan dirinya sebagai anak yang kurang beruntung karena tinggal dengan
orang tua yang kurang memperhatikan dan menyayangi dirinya. Klien merasakan
kalau kehadiriannya tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya karena dulu ibunya
hamil dirinya sebelum ayah dan ibunya menikah meskipun ayahnya sekarang itulah
yang menghamli ibunya. Klien bisa merasakan hal ini karena sejak lahir sampai
sekolah SMP klien dititipkan ke neneknya di Klaten dari pihak ibu sedangkan
pada saat memasuki sekolah SLTA klien tinggal bersama pamannya di Wonosobo dan
pamannya inilah menyekolahkan klien di SMK Wonosobo. Hal ini diungkapkan oleh
klien sebagai berikut :
“Saya kayaknya termasuk anak yang kurang beruntung ya bu. Sejak lahir
sampai SMP saya tinggal dengan kakek nenek di Klaten, sedangkan SMK saya
tinggal dengan Om saya di Wonosobo. Baru kelas X semester 2 saya ikut orang
tua, tapi kok kayak gini. Apa karena dulu ibu hamil saya dengan ayah sebelum
menikah sehingga kelahiran saya tidak diinginkan ya bu? Saya menyesal berbuat
kesalahan karena ikut-ikutan teman mencoba minum minuman keras sehingga Om
marah sekali dan saya diserahkan ke ayah dan ibu”.
Klien
merasa tidak betah tinggal di rumah karena jarang berkomunkasi bahkan tak
jarang pula bersitegang dengan ayahnya dan hanya kadang-kadang berbicara dengan
ibunya itupun kalau klien menginginkan sesuatu, seperti diungkapkan klien
sebagai berikut :
“Saya sebenarnya merasa males di
rumah. Di rumah saya merasa tidak nyaman karena saya males dengan ayah saya.
Ayah orangnya cuek, selalu ngomel-ngomel kalau dimintain uang, padahal untuk
sangu dan beli bensin. Saya pengen sesudah lulus saya bekerja dan keluar dari rumah.
Saya sakit hati sama ayah karena saya dikatakan homoseks padahal saya enggak.
Ayah dan ibu juga kadang-kadang ribut masalah ekonomi yang katanya harus
memikirkan cicilan 2 motor sebesar Rp. 700.00,- an perbulan”.
Klien termasuk
orang yang jarang berbicara dan sebenarnya bisa mengendalikan emosi dan lebih
suka diam kalau kurang berkenan terhadap sesuatu. Hal ini pernah terjadi pada
saat klien dimarah-marah dan diomel-omeli ayahnya pada saat meminta uang tetapi
klien diam saja, pada saat sekali dua kali dikatakan seorang yang homoseks,
klien juga diam saja. Setelah ayahnya mengatakan dirinya homoseks yang ketiga
kalinya itulah klien akhirnya marah dan terjadi adu mulut yang hebat dengan
ayahnya dan klien memutuskan tidak mau tinggal dengan orang tuanya lagi dan
memilih tinggal dengan pak de nya yang letaknya 3 km dari rumahnya.
Klien sangat
menyayangi adiknya, bahkan kadang-kadang juga kasihan dengan adiknya kalau
dimarahi ayah atau ibunya. Pada saat klien di sekolah klien merasa senang dan
dapat melupakan situasi dirumah.
1.
Keberfungsian Sosial
Menurut informasi dari Ketua RT
02 RW IV Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati, ED termasuk orang yang bisa
bergaul dengan teman-temannya di kampung meskipun baru ± 3 bulan menjadi warga di
wilayahnya. Kadang-kadang ED mau mengikuti kegiatan remaja di RT dan mau
menjadi panitia (sinoman) ketika diwilayahnya ada yang mempunyai hajat. Menurut
Bapak ketua RT, ED juga sering bercerita dengan teman-temannya pada saat
kumpul-kumpul kalau dia sering berselisih dengan ayahnya dan mengeluhkan sikap ayahnya yang tidak
pernah mengurusi dirinya sehingga dia harus berjualan untuk membiayai
kebutuhannya. Bahkan kalau jualannya ramai, dia mentraktir teman-temannya mie
ayam. bulan menempati rumahnya sekarang. Semula klien tinggal di daerah
sampangan yang letaknya ± 3 km dari rumahnya sekarang, tetapi dijual dan
dibelikan tanah dan dibangun rumah yang ditempatinya saat ini.
Hubungan
ED dengan teman-teman di sekolahnya biasa-biasa saja, dalam arti ED tidak
pernah pergi bersama teman-temannya atau nongkrong dengan teman-temannya,
terlebih saat ini teman-temannya sedang melakukan Prakrin dan hanya tiap Hari
Sabtu ke sekolahnya. Dulu dia pernah dekat dengan teman satu kelas yang bernama
Putri Yulistiya bahkan sempat diisukan mereka pacaran, tetapi sekarang tidak
lagi. Dengan teman di luar kelasnya ED mempunyai teman yang terbatas yaitu
hanya mereka yang sama-sama beragama kristen terutama Dessi Trisiana kelas XII
Multimedia.
Hubungan klien dengan orang
tuanya yaitu ibunya tidak begitu dekat, dan dengan ayahnya bisa dikatakan
renggang karena jarang berkomunkasi dan penuh dengan konflik. Pada saat klien
berselisih dengan orang tuanya klien sering tidak pulang ke rumah dan tidur
ditempat temannya bahkan pernah tidur di warnet sampai pagi. Klien merasa tidak menyukai ayahnya karena
sering ngomel-ngomel kalau dimintai uang dan sudah 3 kali mengatakan klien
homoseks.Hubungan klien dengan kedua orang tuanya tidak begitu akrab karena
sejak kecil klien tidak tinggal bersama mereka. Sejak lahir sampai dengan SMP
ikut dengan kakek neneknya di Klaten, sedangkan SMK ikut pamannya di Wonosobo,
belum ada 2 tahun klien tinggal bersama kedua orang tuanya di Semarang. Dari
hasil pengukuran terhadap Indeks Hubungan Keluarga (Index Of Family Relation) menunjukkan bahwa hubungan Klien dengan
anggota keluarga Rendah, yang ditunjukkan dengan skor 74. (Hasil pengukuran
terlampir).
Hubungan sosial klien dapat digambarkan pada diagram ecomap yanag dapat menjelaskan hubungan antara klien dengan anggota
keluarga maupun dengan temannya.
Hubungan sosial tersebut digambarkan dengan berbagai simbol yang
menunjukkan kualitas hubungan sosial klien yaitu hubungan sangat mendukung,
hubungan yang dekat, hubungan jauh dan hubungan penuh dengan tekanan. Adapun
gambaran hubungan sosial klien dalam ecomap
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZB4q5FWiwTr8kVWKHDI2qnaDQaaDdwqyWlxxv7ReI4aMESJlySdRw2qAFPUWKjBUFOV2jTsQTks7IoO_UGM2wbg_wiQ8gHccUcFl-npbs1O_mpGym4g51jKY9MsX85MjfahauJBWeMKjH/s320/g.jpg)
Hubungan klien dengan adiknya
sangat akrab, klien sangat menyayangi adiknya. Setiap berangkat dan pulang
sekolah klien dan adiknya bersama-sama dengan naik motor berboncengan. Kalau
jualannya ramai, adiknya sering diberi uang sama klien karena menurut klien
adiknya hanya diberi uang saku Rp. 2.000,- setiap harinya. Demikian juga adknya
juga sayang dengan klien, seperti diungkapkan sebagai berikut :
“Saya sering kasihan
bu, sama mas Danny kalau dimarah-marah sama ayah. Kadang-kadang saya berpikir,
kenapa ayah bisa seperti itu. (sambil nangis). Dulu mas Danny diberi uang saku
Rp. 3000,- setiap hari dan uang bensin Rp. 5,000,- setiap dua hari sekali,
tetapi sekarang sama sekali mas Danny tidak diberi uang sehingga mas Danny
harus berjualan. Saya sering dikatain sudah besar tidak bisa cari uang, tidak
seperti mas Danny katanya yang sudah bisa cari uang”.
Ayah klien
sebenarnya takut sama ibu klien, karena ibu sering marah-marah kalau ibu tidak
mempunyai uang untuk berbelanja, misalnya membeli beras, belanja masakan,
seperti diunagkapkan klien sebagai berikut :
“Ayah itu takut lho bu sebenarnya sama ibu, wong ibu itu sering
marah-marah kalau ibu nggak dikasih uang belanja. Pokoknya ibu sering
ngomel-ngomel sama ayah kalau tidak punya uang belanja. Tapi ya itu, kalau ibu
nggak ada, gantian saya dan adik yang jadi sasaran sama ayah gantian ayah
marah-marahi saya dan adik”.
Menurut
teman-temannya di sekolah, klien orangnya baik dan tidak pernah berselisih
dengan teman-temannya di sekolah baik yang satu kelas maupun di luar kelasnya,
bahkan dia pernah dekat dengan teman satu kelasnya yang bernama Putri Yulisiya
meskipun tidak berpacaran. Setelah pulang sekolah klien langsung cepat-cepat
pulang karena akan berjulan, seperti dikatakan teman-teman klien sebagai
berikut :
“Denny itu orangnya baik bu, tapi kasihan. Dia sering bercerita ke
kita-kita kalau tidak pernah diberi uang sama orang tuanya sehingga harus
berjualan mainan di depan SD. Dia itu tidak punya rasa malu berjualan karena pernah
juga berjualan bolpoint ke guru-guru, berjualan pensil 2B pada saat ujian dan
berjualan cepit rambut dan assesoris HP di kelas-kelas pada saat istirahat..
Makanya setelah pulang sekolah dia cepet-cepet pulang karena akan berjualan.
Praktikan
juga pernah menjumpai ED berangkat ke sekolah dengan membawa dagangannya yang
berupa mainan anak-anak yang dimasukkan ke dalam tas dan ditaruh diboncengan
motornya. Menurut pengakuan ED, dagangannya itu dibawa ke sekolah karena
setelah pulang sekolah dia tidak pulang dulu, tapi lansung berjualan di depan
SD yang masuk siang maupun ke tempat pengajian anak-anak. Mengenai hasil
pengukuran terhadap Indeks Hubungan dengan saudara Kandung Perempuan (Index Of Sister Relation)
menunjukkan bahwa hubungan klien dengan saudara kandung perempuan
sedang, dengan skor 124. (hasil pengukuran terlampir).
1.
Potensi dan Sumber
Potensi yang dimaksud di sini adalah segala kekuatan
yang dimiliki klien yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pemecahan masalah
klien, termasuk bakat dan minat klien. Potensi yang dimiliki klien adalah bakat
dan keuletan klien untuk berdagang. Hal ini dibuktikan oleh klien pada saat
pulang sekolah berjualan mainan anak-anak di depan Sekolah dari SD yang satu ke
SD yang lain bahkan masih berseragam sekolah klien kulakan mainan terlebih dahulu ke pasar johar apabila
dagangannya telah habis. Pernah juga klien berjualan di sekolah pada saat
istirahat dari kelas yang satu ke kalas yang lain atau menawarkan dagangannya
kepada guru-guru yang berupa alat-alat tulis, cepit rambut dan asesoris tanpa
ada rasa sungkan dan malu.
Sumber
yang ada disekitar klien dapat berupa
sumber informal, sumber formal dan sumber kemasyarakatan. Sumber informal
(sumber alamiah) berupa dukungan emosional dan afeksi, nasehat, informasi dan
pelayanan-pelayanan konkret lainnya. Sumber informal yang dapat digunakan klien
dalam memecahkan masalah yang dialaminya dapat berasal
dari keluarga, teman,
tetangga serta orang-orang yang dapat memberikan bantuan.
Sumber
informal yang dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah klien berupa
dukungan dari orang tua, keinginan orang tua, dukungan dari
kerabat terutama Pak De, dan keinginan
klien untuk keluar dari permasalahannya.
Sumber formal adalah sumber yang dapat memberikan bantuan
atau pelayanan langsung terutama kepada para anggotanya. Bisaanya berbentuk
lembaga-lembaga formal atau tokoh-tokoh formal. Sumber formal yang terdapat di wilayah
atau lingkungan klien yang dapat digunakan adalah adanya OSIS
(Organisai Siswa Intra Sekolah), adanya guru dan wali kelas, serta kelompok arisan
remaja di wilayah RT 02 RW IV.
Sumber
kemasyarakatan adalah sumber yang dapat memberikan bantuan kepada masyarakat
umum. Sumber ini dapat berupa sekolah,
Perkumpulan remaja, Puskesmas
dan posyandu, PKK, dan tempat-tempat ibadah.
Berbagai
jenis sistem
sumber yang ada disekitar klien dapat digunakan untuk membantu memecahkan
masalah yang dihadapi klien. Namun sumber-sumber yang ada tersebut terutama
sumber informal
dan kemasyarakatan belum dapat digunakan secara optimal karena sumber-sumber
tersebut tidak menyediakan pelayanan yang dibutuhkan klien. Sumber yang dapat
digunakan adalah sistem
sumber formal karena keberadaannya sangat dekat dengan klien dan sumber ini
yang dimiliki klien saat ini.
2.
Analisis Masalah
Analisis data yang diperoleh dari hasil asessmen pada klien adalah
merupakan kegiatan mencari dan menyusun informasi dari klien sehingga informasi
tersebut menjadi mudah dipahami dan bermanfaat untuk pengambilan keputusan
terbaik berkaitan dengan
usaha pertolongan pada klien. Philip C. Kendall dan Julian D. Norton-Ford dalam
clinical psychology bahwa “pengetahuan yang diperoleh dari suatu assesmen
klinis juga digunakan untuk memilah dan mengelompokkan orang-orang secara lebih jauh demi memungkinkan penetapan diagnosis
yang akurat”.
Selanjutnya Philip C Kandall dan Julian D Norton-Ford mengatakan bahwa
“suatu diagnosis mengidentifikasi permasalahan khas yang dialami klien dan juga
dipergunakan bagi komunikasi yang efisien dengan ahli lain sehingga dengan
begitu dapat dibuat keputusan tentang cara terbaik menangani setiap klien”.
Berdasarkan hasil asesmen terhadap klien, orang tua serta temannya dengan
menggunakan serangkaian tehnik asesmen seperti wawancara, observasi dan studi
dokumentasi diperoleh gambaran masalah dan kebutuhannya, yaitu klien mengalami gangguan motivasi belajar. Di sekolah klien merasa
kurang semangat untuk belajar karena mempunyai kesibukan berjualan mainan
setelah pulang sekolah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekolahnya, terutama
uang saku dan transport ke sekolah. Selama ini yang menanggung pembayaran uang
komite sekolah sebesar Rp. 145.000 per bulan adalah pamannya yang ada di
Wonosobo, sedangkan untuk keperluan sekolah lainnya seperti uang saku,
transport, dan sebagainya menjadi tanggung jawab orang tuanya. Tetapi karena
setiap kali minta uang untuk keperluan sekolah klien dimarahi dan diomel-omeli
terus sama orang tuanya, maka klien sudah tidak mau meminta orang tuanya lagi
dan memiih untuk mencari uang sendiri dengan cara berjualan mainan setelah
pulang sekolah, yang kadang-kadang sampai tengah malam sekitar pukul 23.30 WIB.
Saat ini klien sudah bisa mencari uang sendiri, memenuhi kebutuhan sekolahnya
tetapi di sekolah memiliki motivasi
belajar yang kurang karena merasa kelelahan dan mengantuk pada saat di sekolah.
Di rumah ED juga bersikap semaunya sendiri dan tidak mau diatur atau suka
menentang orang tuannya karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri dan bisa
memenuhi kebutuhannya sendiri.
Permasalahan Klien yang teridentifikasi tersebut kemudian dianalisis
secara lengkap dari beberapa kondisi. Berdasarkan tinjauan konseptual dan
keadaan faktual dilapangan ini, nantinya akan dijadikan sebagai bahan menyusun
intervensi dalam rangka pemecahan masalah yang dialami klien.
Untuk dapat mengetahui lebih mendalam tentang Gangguan Tingkah Laku Klien
dan Motivasi Belajar Klien dapat
dianalisis secara konseptual berikut ini :
(a)
Perspektif
Ekologi
Perspektif ekologi
merupakan suatu alat yang sangat
berguna untuk memandang dan memahami dunia. Pendekatan ekologi memberikan
pandangan yang lebih spesifik mengenai dunia, cenderung menekankan pada sistem
individu dan keluarga. (Carolina, 2007;20)
Menurut pendapat ini pendekatan ekologi dapat dipergunakan untuk memahami
hubungan individu dalam keluarga dan bagaimana keduanya saling mempengaruhi.
Artinya individu dapat memberi pengaruh dan menerima pengaruh dari anaggota
keluarga lainnya. Individu bukan person pasif tetapi aktif dalam lingkungannya.
Sebagaimana dikemukakan Zastrow ( 1999 ; 19) sebagai berikut :
“An ecological model gives attention to both internal and external faktors.
It does not view people as passive reactors to their environments but rather as
being inveloved in dynamic and reciprocal interactions with them”
Perspektif ekologi memberikan perhatian pada faktor-faktor internal dan
eksternal. Pendekatan ini tidak melihat seseorang pasif terhadap lingkungan
tetapi lebih dinamis dan diantara keduanya saling berinteraksi timbal balik.
Pandangan ekologi merupakan salah satu perspektif dalam pekerjaan sosial yang menekankan pada adanya pengaruh lingkungan
terhadap perilaku individu.
Menurut pandangan ekologi gangguan motivasi belajar dan
gangguan tingkah laku yang dialami klien terjadi karena pengaruh
lingkungan. Perilaku yang ditampilkan klien
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan
demikian gangguan motivasi belajar dan gangguan tingkah laku pada klien merupakan hasil interaksi tersebut.
Dengan demikian terdapat dua kemungkinan sehingga memunculkan perilaku menyimpang pada anak.
Pertama adanya ketidakmampuan anak untuk melakukan
adaptasi dengan lingkungannya, yaitu lingkungan keluarga.
Kira-kira baru 2 (dua) tahun klien tinggal bersama orang tuanya sendiri. Seperti
dijelaskan di atas bahwa klien sejak lahir sampai lulus SMP tinggal bersama
kakek dan neneknya di desa yaitu di Klaten. Karena klien merupakan cucu
pertamanya, sehingga sangat dimanja dan diberi kebebasan oleh kakek dan
neneknya. Pada saat memasuki SLTA, klien ikut pamannya dari pihak bapak untuk
disekolahkan di Wonosobo tetapi hanya 6 bulan saja atau satu semester saja.
Klien dikembalikan ke orang tuanya karena klien melakukan kesalahan yaitu minum
minuman keras berupa bir bintang dan mengambil uang pamannya pada saat
dipercaya menjaga toko pamannya. Pada saat tinggal bersama orang tuanya, klien
merasa tidak mendapatkan perhatian dan kebebasan seperti pada saat tinggal
bersama kakek dan neneknya bahkan klien diminta untuk membantu bapaknya
berjualan mainan.
Kedua,
adanya disorganisasi sosial pada
lingkungan sosial yaitu keluarga dimana anak sering berinteraksi. Lingkungan sosial terdekat dengan anak adalah keluarga,
teman bermain, dan lingkungan ketatanggaan. Lingkungan inilah yang turut
membentuk perilaku yang ditampilkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian agar anak dapat menampilkan perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Dalam kasus yang dialami
klien, keluarga bukanlah merupakan tempat dimana kebutuhan-kebutuah anak baik
keburuhan fisik maupun psikis dapat terpenuhi. Dalam keluarga klien sering
mengalami Emotional Abuse, sering
mendapat marah dan omelan-omelan dari orang tua, terutama bapak pada saat
meminta uang saku maupun meminta kebutuhan sekolahnya, bahkan bapaknya sering
mengatakan bahwa dirinya sudah harus bisa mencari uang sendiri. Bahkan sering
pula kalau bapaknya marah dengan klien, sering mengatakan kalau klien adalah
seorang homoseks. Hal inilah yang mendorong klien untuk bekerja mencari uang
sendiri dengan cara berjualan mainan setelah pulang sekolah demi memenuhi
kebutuhannya tanpa meminta dan menggantungkan pada orang tua. Klienpun juga
tidak mau kalau orang tua mereka sering ribut hanya karena masalah ekonomi.
Keluarga dalam
menjalankan fungsi-fungsinya atau keberfungsian
keluarga diyakini dapat menjamin setiap anggotanya untuk menampilkan peran yang
sesuai dengan statusnya. Disamping itu juga bahwa anggota keluarga yang dapat terpenuhi kebutuhannya akan memiliki kecenderungan
lebih besar untuk berperilaku pro-sosial. Dengan demikian keberfungsian keluarga
merupakan kunci yang perlu dipertimbangkan.
Berdasarkan analisis perspektif ekologi tersebut,
perkembangan perilaku anak sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
lingkungan sosial
terdekatnya. Keluarga merupakan salah
satu lingkungan sosial yang
turut membentuk perilaku anak. Perilaku anak terbentuk melalui interaksi yang
intensif antara anak dengan keluarganya. Perilaku anggota keluarga merupakan
contoh bagi anak untuk menentukan perilaku yang dapat diterima oleh
lingkungannya yang lebih luas. Orang dewasa terutama orangtua merupakan model
bagi anak. Kondisi ini menuntut para orang tua untuk dapat menjadi contoh
panutan bagi anak dalam berperilaku.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam masa perkembanganya, anak
membutuhkan situasi dan kondisi keluarga yang kondusif dan dapat melaksanakan fungsinya. Dengan
demikian perilaku anti sosial Klien
dapat dicegah dari keluarga melalui penguatan fungsi dan peran orang tua.
Memperhatikan faktor penyebab
munculnya permasalahan pada klien ED berdasarkan
perspektif ekologi ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
klien dan faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor yang berasal dari diri
klien berkaitan dengan ketidak mampuan klien dalam menyesuaikan dengan lingkungan keluarga sekarang, termasuk kondisi ekonomi
dan sosial orang tuanya. Ketidak mampuan ini mempengaruhi proses adaptasi
yang klien lakukan, sehingga berpengaruh pula terhadap perilaku yang klien
tampilkan.
Faktor dari luar klien berasal dari lingkungan sosial klien yaitu lingkungan keluarga. Dari keluarga pengaruhnya berasal
dari sikap orang tua yang kurang
perhatian pada pada klien, selalu menyalahkan klien yang menyebabkan pamannya
marah dan klien dikembalikan ke orang tua, sering mengatakan bahwa klien
seorang homoseks dan disuruh berjualan mainan untuk mencari penghasilan.
Penyebab terjadinya gangguan tingkah laku dan gangguan motivasi belajar pada diri klien berdasarkan analisis ekologi dapat dapat dilihat pada skema berikut ini :
Bagan : Analisis penyebab terjadinya gangguan tingkah laku dan gangguan motivasi belajar
klien ED berdasarkan
perspektif ekologi.
(a)
Perspektif Teori Attachment (kelekatan)
Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya
dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John
Bowlby. Kemudian formulasi yang
lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing,
2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan
anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam
kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).
Bowlby
(dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup
lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada
ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth (dalam Hetherington dan
Parke,2001) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk
seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal
sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah
laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara
hubungan tersebut ( Durkin, 1995).
Tidak
semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan.
Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup
lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata
anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figure
lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Adiyanti, 1985).
Menurut
Maccoby (dalam Ervika, 2000) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain
jika memiliki ciri-ciri antara lain:
1) Mempunyai kelekatan fisik dengan
seseorang
2) Menjadi cemas ketika berpisah dengan
figur lekat
3) Menjadi gembira dan lega ketika figur
lekatnya kembali
4) Orientasinya tetap pada figur lekat
walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan
suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya
Selama ini orang seringkali menyamakan kelekatan dengan
ketergantungan (dependency), padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut
mengandung pengertian yang berbeda. Ketergantungan anak pada figur tertentu
timbul karena tidak adanya rasa aman. Anak tidak dapat melakukan otonomi jika
tidak mendapatkan rasa aman. Hal inilah yang akan menimbulkan ketergantungan
pada figur tertentu (Faw dalam Ervika, 2000). Adapun ciri kelekatan adalah
memberikan kepercayaan pada orang lain yang dapat memberikan ketenangan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kelekatan adalah suatu hubungan
emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan
individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan
ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal
balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak
tampak dalam pandangan anak.
Dalam
menganalisis kasus klien ED berdasarkan teori attachment dapat dijelaskan bahwa
antara klien ED dengan ibu terlebih dengan ayahnya kurang memliki attachment
(kelekatan) baik secara fisik maupun psikis. Hal ini disebabkan karena sejak
lahir sampai dengan klien lulus SMP, klien diasuh oleh kakek dan neneknya di
Klaten sedangkan orang tuanya tinggal di Yogyakarta yang akhirnya pindah ke Semarang.
Setelah lulus SMP, klien ikut pamannya di Wonosobo dan disekolahkan di sebuah
SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri program keahlian/jurusan Rekayasa
Perangkat Lunak. Baru sekitar 2 Tahun klien tinggal bersama orang tua
kandungnya di Semarang, sehingga perlu waktu untuk saling memahami dan
menyelami kepribadian masing-masing agar relasi dalam berlangsung secara
harmonis, saling bisa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
(b)
Perspektif
Teori Tugas Perkembangan
Berdasarkan
data dan informasi yang terkumpul klien mengalami permasalahan yaitu memiliki Gangguan Tingkah Laku dan Gangguan Motivasi Belajar. Permasalahan yang dialami klien terjadi sebagai
akibat dari proses perkembangan sebagaimana dikemukakan Erik Erikson dalam Santroct, John W (
2003 ), bahwa perkembangan psikososial seseorang terbagi beberapa tahap klien sampai pada satu tahap
yaitu tahap identitas Vs Difusi peran ( 12 – 18 tahun ). Pada tahap ini terjadi
perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa, sehingga
terjadi kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa, tetapi dilain pihak
ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu
mencari identitas dalam bidang sexual, umur dan kegiatan. Peran orang tua
sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun.
Tahap perkembangan terakhir dari masa
anak-anak adalah masa remaja (adolescence).
Masa remaja seringkali ditandai dengan adanya masalah dalam menentukan konsep
diri dan peran. Pertentangan ini terjadi karena adanya keinginan individu untuk
menirukan peran orang dewasa, sementara lingkungan masih memperlakukan mereka
layaknya seorang anak. Keinginan menirukan peran orang dewasa ini bila tidak
diimbangi dengan pemberian perhatian orang tua yang memadai, dan pemberian
pendidikan yang benar tentang bagaiman menjadi orang dewasa, sering kali
menyebabkan remaja terjerumus dalam berbagai permasalahan.
Berbagai
permasalahan yang sering dialami para remaja antara lain : terjadinya kehamilan
pada usia remaja, pernikahan usia dini, bunuh diri, merokok, penyalah gunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang, melakukan gangguan terhadap ketertiban umum dan bahkan
terlibat dalam berbagai tindak kriminal.
Remaja
perempuan permasalahan yang sering dihadapi ada kaitannya dengan ketidak-puasan
atas bentuk fisik dan tubuhnya, mereka cenderung ingin tampil menarik dan
ketakutan akan menjadi kegemukan. Sedangkan pada remaja laki-laki permasalahan
yang sering dihadapi seperti keinginannya untuk memiliki postur tubuh atletis.
Pemikiran tersebut cenderung
mudah menyeret para remaja untuk menggunakan berbagai obat yang diyakini dapat
membantu mereka. Disini peran orang tua sangat diperlukan terutama dalam
memberikan pengawasan dan perhatian pada mereka. Kegagalan atau kurangnya
pengawasan dan perhatian dari orang tua akan membuat mereka mudah terjebak
dalam berbagai persoalan seperti penyalahgunaan obat, perkelahian serta
tindakan kriminal
lainnya.
Masa
remaja merupakan masa krisis mencari identitas dirinya, sering seseorang remaja
lebih menonjolkan diri merasa superior, merasa mampu dan hal ini ingin
ditunjukan pada dunia luarnya atau lingkungannya. Akan menjadi permasalahan
apabila seseorang tak mampu mengendalikan dirinya sering terjerumus dalam
berbagai permasalahan yang sangat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Peranan
orang tua dalam mengarahkan dan memberikan pandangan-pandangan seperti norma
susila, norma bergaul, norma agama dan tata cara bermasyarakat yang benar
sangat diperlukan sehingga seseorang remaja memiliki wawasan yang cukup tentang
kehidupan dan bagaimana hidup dan bergaul dilingkungan dengan baik. Kegagalan
pada proses ini akan berpengaruh pada perkembangan remaja, dimana remaja akan
berkembang berdasarkan lingkungannya. Akan sangat berpengaruh negatif bila lingkungan yang menjadi tempat
remaja bergaul adalah lingkungan yang longgar nilai dan norma dimana remaja ini
akan terjerumus pada berbagai persoalan yang sangat merugikan dirinya maupun
orang lain. Perilaku Anti Sosial
merupakan bentuk imitasi anak terhadap lingkungan dimana dia berada.
Berkaitan dengan tugas perkembangan, sebagaimana Pikunas
(1976) mengutip pendapat Luella Cole (dalam Yusuf, 2004), mengklasifikasikan
Sembilan kategori tujuan dari tugas perkembangan remaja yaitu : kematangan
emosional, pematangan minat-minat heteroseksual, kematangan sosial, emansipasi
dari kontrol keluarga, kematangan intelektual, memilih pekerjaan, menggunakan
waktu senggang secara tepat, memiliki fiksafat hidup, dan identitas. Sembilan
kategori tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
DARI ARAH |
KEARAH |
KEMATANGAN
EMOSIONAL DAN SOSIAL |
|
1.
Tidak toleran dan bersikap superior. 2.
Kaku dalam bergaul 3.
Peniruan buta terhadap teman sebaya 4.
Kontrol orang tua 5.
Perasaan yang tidak jelas tentang dirinya/ orang lain 6.
Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah dan
sikap permusuhannya |
1.
Bersikap toleran dan merasa nyaman 2.
Luwes dalam bergaul 3.
Interdependensi dan mempunyai Self-Esteem 4.
Kontrol diri sendiri 5.
Perasaan mau menerima dirinya dan orang lain 6.
Mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan
kreatif. |
DARI ARAH |
KEARAH |
PERKEMBANGAN
HETEROSEKSUALITAS |
|
1.
Belum memiliki kesadaran tentang perubahan seksualnya 2.
Mengidentifikasi orang lain yang sama jenis kelaminnya 3.
Bergaul dengan banyak teman |
1.
Menerima identitas seksualnya sebagai pria dan wanita 2.
Mempunyai perhatian terhadap jenis kelamin yang berbeda
dan bergaul dengannya 3.
Memilih teman-teman tertentu |
KEMATANGAN
KOGNITIF |
|
1.
Menyenangi prinsip-prinsip umum dan jawaban yang final 2.
Menerima kebenaran dari sumber otoritas 3.
Memiliki banyak minat atau perhatian 4.
Bersikap subyektif dalam menafsirkan sesuatu |
1.
Membutuhkan penjelasan tentang fakta dan teori 2.
Memerlukan bukti sebelum menerima 3.
Memiliki sedikit minat/perhatian terhadap jenis kelamin
yang berbeda dan bergaul dengannya 4.
Bersikap obyektif dalam menafsirkan sesuatu |
FILSAFAT
HIDUP |
|
1.
Tingkah laku dimotivasi oleh kesenangan belaka 2.
Acuh tak acuh terhadap prinsip-prinsip idiologi dan
etika 3.
Tingkah lakunya tergantung pada reinforcement (dorongan dari luar) |
1.
Tingkah laku dimotivasi oleh aspirasi 2.
Melibatkan diri atau mempunyai perhatian tehadap
idiologi dan etika 3.
Tingkah lakunya dibimbing oleh tanggung jawab moral |
Sumber : Syamsu Yusuf (2004). Psikologi Perkembangan Anak
dan Keluarga (h 73-74) Bandung: Remaja
Rosdakarya
Pada
kematangan emosional dan sosial
seseorang akan berkembang dari : Tidak
toleran dan bersikap superior menuju pada bersikap toleran dan merasa nyaman,
dari Kaku
dalam bergaul menuju Luwes dalam bergaul, dari Peniruan buta terhadap teman
sebaya.
Interdependensi dan mempunyai
Self-Esteem, dari Kurang dapat
mengendalikan diri dari rasa marah dan sikap permusuhannya menuju mampu
menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif.
Melihat
tugas-tugas perkembangan seseorang klien telah mengalami permasalahan dalam
tugas perkembangannya dimana klien masih sering menunjukan kurang dapat
mengendalikan diri dari rasa marah dan sikap permusuhan pada orang
tua, bahkan tersimpan rasa dendam terutama dengan ayahnya karena sering
dimarahi, diomel-omeli bahkan dikatakan sebagai sebagai seorang homoseksual.
(c)
Perspektif
Hak, kewajiban dan Kebutuhan Anak
Anak memiliki
hak yang berguna dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya. Pengakuan
terhadap hak anak secara internasional dilakukan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui suatu konvensi internasional tahun 1989 dengan
prinsip-prinsip yang dianut dalam konvensi Hak Anak tersebut adalah :
a.
Non
Diskriminasi (pasal 2), semua hak anak yang diakui dan terkandung dalam KHA
harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa membedakan apapun.
b.
Kepentingan
terbaik untuk anak (pasal 3), semua tindakan yang menyangkut anak pertimbangan
utamanya adalah apa yang terbaik untuk anak.
c.
Kelangsungan
hidup dan perkembangan anak (pasal 6). Hak hidup yang melekat pada diri setiap
anak harus diakui atas kelengsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin.
d.
Penghargaan
terhadap pendapat anak (pasal 12). Pendapat anak tgerutama yang menyangkut
hal-hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap
pengambilan keputusan.
Konvensi hak anak tersebut
diratifikasi pemerintah Indonesia dalam Keppres No 36 tahun 1990. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa anak
memiliki hak-hak antara lain: hak untuk
hidup layak, hak untuk berkembang, hak
untuk dilindungi, hak untuk berperan serta, hak untuk menolak menjadi
pekerja anak, dan hak untuk memperoleh pendidikan.
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun
2002 Bab III anak telah dijamin atas hak-hak dan kewajibannya antara lain adalah
sebagai berikut :
a. Hak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4)
b. Hak atas suatu nama sebagai identitas
diri dan status kewarganegaraan. (pasal 5)
c.
Hak untuk beribadah menurut agamanya, (pasal 6)
d. Berfikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.(Pasal 6)
e. Hak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.(pasal 7)
f.
Hak
untuk mendapatkan pengasuhan pengganti (pasal 7)
g. Hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan jaminan social sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual
dan social (pasal 8)
h. Hak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya.(pasal 9)
i.
Hak
untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
j.
Hak
untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.(pasal 11)
k. Hak anak yang menyandang cacat untuk
memperoleh rehabilitasi, bantuan social, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social. (pasal 12)
l.
Hak
untuk memperoleh perlindungan dan bantuan hukum, perlindungan dari segala bentuk
kekerasan, penyalahgunaan dan diskriminasi (pasal 13,14,15,16,17 dan 18)
Selain memiliki hak sebagaimana
dalam UU No 23/2002 pasal 19 diatur juga mengenai kewajiban setiap anak, yaitu
:
a.
Menghormati
orang tua, wali dan guru,
b.
Mencintai
keluarga, masyarakat dan menyayangi teman,
c.
Mencintai
tanah air, bangsa dan Negara,
d.
Menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan melaksanakan etika dan akhlak yang
mulia.
Sebagai sosok manusia, anakpun
memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut harus dipenuhi, sehingga anak
dapat tumbuh kembang secara wajar dan normal. Dubowitz (2000;11) menyebutkan
bahwa kebutuhan dasar anak meliputi : makanan yang memadai, pakaian, perumahan,
perawatan kesehatan, pendidikan, pengawasan, perlindungan dari lingkungan yang
berbahaya, perawat asuhan, kasih saying, dukungan, dan cinta. Sedangkan menurut
Elizabeth Hurlock ( 1991 : 35 ), ada 3 ( tiga ) kebutuhan anak yang
penting untuk dipenuhi yaitu :
a.
Kebutuhan
fisik, yaitu perawatan, kesehatan, sandang, pangan dan perumahan.
b. Kebutuhan emosional meliputi kasih
sayang, perhatian yang mendalam atau kesetabilan emosi dan perkembangan
kepribadian.
c. Kebutuhan sosial intelektual, yaitu
mengembangkan intelektualnya, dengan cara bergaul dengan lingkungannya.
Kebutuhan – kebutuhan dasar tersebut
sangat berperan penting dalam membentuk
kepribadian dan psikososial anak dimasa mendatang, oleh karena itu dalam
kondisi apapun, kebutuhan anak tersebut harus dapat terpenuhi, agar
perkembangan psikososial anak tidak mengalami masalah.
Kebutuhan anak pada dasarnya tidak
dapat disama ratakan, pada tahap yang berbeda anak mempunyai kebutuhan yang
berbeda pula. Pemenuhan kebutuhan anak akan berdampak pada pertumbuhan fisik,
perkembangan intelektual, mental dan social. Kegagalan dalam pemenuhan
kebutuhan anak akan membawa dampak yang negative pada diri anak pada fase
perkembangan selanjutnya. Anak akan menemui kegagalan dalam pemenuhan kebutuhannya
akan mudah mengalami kegagalan dalam penyesuaian diri.
Secara spesifik kebutuhan anak sangat
berbeda-beda sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Papalia (2001;14-16)
membagi tahapan perkembangan dalam delapan tahapan, secara umum delapan tahapan
tersebut adalah masa konsepsi (masa pembuahan sampai dilahirkan sebagai bayi),
masa bayi, kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, remaja, dewasa awal, dewasa
pertengahan, dan dewasa akhir atau lanjut usia.
Masa bayi, kebutuhan anak lebih
ditekankan pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
tinggal, perhatian dan kasih saying terutama dari orang tua atau pengasuhnya.
Pada masa kanak-kanak awal, anak lebih banyak membutuhkan perhatian sehingga
mampu mengembangkan control dirinya. Pada masa kanak-kanak akhir, seorang anak
lebih banyak membutuhkan bergaul dengan teman sebayanya, dengan demikian anak
dapat mulai mempelajari perilaku yang sesuai dengan lingkungannya.
Sedangkan pada masa remaja, anak mulai
mengembangkan konsep dirinya untuk mencari identitas diri. Pada masa ini anak
tidak hanya membutuhkan pendidikan yang memadai, tetapi juga kasih saying dan
perhatian orang tua agar anak tidak salah dalam mengembangkan konsep dirinya.
Disamping itu dukungan emosional dari peer
group juga sangat dibutuhkan.
Mengapa demikian, karena dalam hal ini disebabkan kecenderungan
kedekatan remaja dengan peer group-nya
dari pada dengan orang tuanya sendiri.
Berdasarkan
perspektif hak, kewajiban dan kebutuhan anak dapat disimpulkan bahwa Klien ED kurang
mendapatkan hak-haknya terutama yang berkaitan dengan hak untuk beristirahat
karena waktu luangnya dipergunakan untuk bekerja mencari nafkah, sedangkan
kebutuhan-kebutuhan fisik, emosional dan sosial juga kurang mendapat pemenuhan
dari keluarganya.
1.
Analisis Sumber
Siporin (1975: 22-25)
mengklasifikasikan sumber kesejahteraan sosial dalam tiga jenis yaitu internal
dan eksternal, official dan non-official, manusia dan non-manusia. Edi Suharto
(1997: 323) menjelaskan bahwa pada dasarnya sistem sumber kesejahteraan sosial merupakan segala sesuatu yang
memiliki nilai dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan
masalah kesejahteraan sosial.
Berdasarkan
hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan praktikan, diketahui beberapa
sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang dialami klien ED. Analisis sumber dilakukan dengan
mengelompokkannya dalam sumber internal dan eksternal.
(a)
Sumber
Internal
Sumber internal yang dimiliki Klien ED adalah segala sesuatu yang dimiliki
Klien yang dapat dimanfaatkan untuk
memecahkan permasalahan yang dialami Klien ED. Sumber internal tersebut meliputi :
keinginan yang kuat
dari klien untuk
keluar dari
permasalahannya yaitu ingin memfokuskan pada sekolah dan berjualan
mainan pada hari libur saja apabila orang tuanya bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya terutama kebutuhan sekolahnya. Disamping itu
yang termasuk sumber internal juga adanya keuletan dan kegigihan klien untuk
bekerja yaitu berjualan mainan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Klien sangat
menyadari betapa pentingnya pendidikan formal sehingga tetap berkeinginan untuk
menyelesaikan sekolah sampai lulus SMK demi masa depannya. Keluarga terutama
orang tuanya juga sangat menginginkan klien ED untuk menyelesaikan sekolah
sampai lulus SMK.
(b)
Sumber
Eksternal
Sumber
eksternal atau sumber yang terdapat diluar diri klien meliputi : Sekolah
(SMK Negeri 8 Semarang), Keluarga besarnya yaitu pamannya yang mampu secara
ekonomi sehingga bersedia membantu klien ED untuk membayarkan uang sekolah
setiap bulannya sebesar Rp. 145.000, Pak De nya (kakak ibunya) yang sangat
disegani dalam keluarga besar klien, Kegiatan remaja di RT 02 RW IV Kelurahan
Sekaran – Gunung Pati, Puskesmas
dan posyandu dan PKK. Sumber ini dapat digunakan untuk
membantu mengatasi permasalahan yang dialami Klien.
2.
Fokus Masalah
Berdasarkan
hasil pemaparan analisis hasil asesmen maka fokus masalahnya adalah klien mengalami
perlakuan salah dari orang tua yang berupa mental
Abuse dari orang tua, terutama ayahnya yaitu sering dimarahi, diomel-omeli
bahkan dikatakan sebagai seorang homoseksual. Karena klien merasa tidak tahan
dengan perlakuan orang tua, menyebabkan klien bekerja dengan berjualan mainan
setelah pulang sekolah hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa mencari uang
sendiri tanpa harus merengek-rengek
minta pada orang tua. Tetapi saat ini
dengan bekerja dan mampu mencari uang sediri ini menyebabkan relasi klien ED
dengan ayahnya kurang akrab bahkan jarang bertegur sapa dengan ayahnya.
3.
Refleksi
Praktikan
Ø
Proses
asesmen
Proses
pelaksanaan asesmen yang dilakukan praktikan melalui berberapa langkah sebagai berikut : Pertama
langkah persiapan, Untuk mendapatkan
data yang tepat mengenai situasi/masalah memerlukan peralatan atau tools
asessmen yang dapat menjaring informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang dialami seseorang. Penggunaan peralatan assesmen dengan tepat akan dapat
menghasilkan data yang sangat diperlukan dalam proses pertolongan pada
seseorang yang mengalami situasi yang mengganggu keberfungsian sosialnya.
Proses
penyusunan instrument assesmen dilakukan praktikan dengan mempertimbangkan
data-data dan informasi yang akan dijaring yaitu dengan melakukan observasi
terhadap fenomena yang terjadi disekitar lokasi praktikum, terutama target yang
akan dijadikan focus, kondisi lingkungannya atau gambaran lokasi praktik serta
sistem sumber yang
terdapat di lokasi praktik. Kemudian menentukan alat assesmen yang sesuai
dengan informasi yang akan diperoleh. Langkah selanjutnya menyusun instrument
assesmen. Instrument yang telah tersusun dikomunikasikan pada pembimbing. Pada
tahap ini praktikan tidak mengalami hambatan.
Langkah kedua
pada proses perubahan terencana adalah pengumpulan informasi yang cukup dari
klien dan stake Holder dalam
lingkungan klien untuk memahami permasalahan atau perhatian akan situasi klien,
memahami motivasi dan tujuan-tujuannya dan menilai kapasitas dan kesempatan
untuk membuat perubahan. Dengan penggunaan peralatan asessmen akan dapat
dijaring data yang dibutuhkan, dimana data tersebut diperoleh dan bagaimana hal
tersebut diartikan. Pada tahap ini
merupakan proses pelaksanaan asesmen.
Langkah ketiga adalah pemahaman terhadap
permasalahan yang dialami klien merupakan suatu hal yang harus dilakukan
praktikan, agar dalam proses
perencanaan perubahan untuk mengatasi permasalahan klien menjadi efektif.
Identifikasi klien dan kebutuhannya, menganalisis hubungan sebab akibat,
kedalaman, intensitas dan keluasan masalah
diperlukan agar praktikan mendapatkan /memperoleh gambaran masalah,
perhatian, kebutuhan yang diperlukan. Penyampaian atau menginformasikan
permasalahan yang dialami klien disampaikan dengan mempertimbangkan segala hal
permasalahan klien disampaikan dengan
bahasa yang komunikatif agar permasalahan dapat dipahami oleh klien dan
keluarganya. Penyampaian permasalahan pada significan
other seperti keluarganya dan pihak berkepentingan lainya memerlukan kehati-hatian untuk
menghindari kesalah pahaman terutama pada klien potensial, akan sangat berbeda
dengan klien aktual dimana klien dan keluarganya sudah menyadari permasalahan
dan memerlukan pertolongan. Berkaitan dengan hal ini praktikan sangat
mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan proses pertolongan yang akan
diberikan dan tetap menjaga keseimbangan.
Ø
Pengalaman
Yang Diperoleh dan
Hambatan yang Ditemui
Langkah praktikan
dalam mengidentifikasi klien dan
kebutuhannya dilakukan dengan dilakukan dengan tehnik wawancara, observasi dan
studi dokumentasi. wawancara dilakukan untuk mengeksplorasi kebutuhan yang
dirasakan klien. Wawancara dilakukan didua tempat yaitu di sekolah
dan di rumah klien. Praktikan mendapatkan berbagai
pengalaman yang sangat berarti pada
dua tempat wawancara tersebut.
Praktikan mengalami kendala dalam melakukan wawancara di sekolah,
khususnya berkaitan dengan waktu karena ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar),
sedangkan waktu istirahat hanya 15 menit. Disamping itu wawancara disekolah juga memberi
kesan bahwa seorang guru sedang memanggil siswa dan mewawancarai siswanya,
sehingga siswa semula kelihatan ketakutan. Demikian juga kesan dan komentar
para guru termasuk wali kelas yang terasa kurang peduli pada klien karena sudah
ada stigma bahwa klien sering berbohong, tidak dapat dipercaya atau pandai
beralasan. Bahkan ada guru yang sangat kesal dengan klien dan berusaha untuk
tidak menaikkan atau meluluskan klien. Wawancara yang dilakukan di rumah klien pertama
kali juga menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran pada orang tua klien karena
pada saat itu praktikan datang bersama waka kesiswaan dan guru BK. Disamping
itu kedua orang tua klien juga menemui praktikan sehingga sulit untuk
mengungkap karakter sebenarnya masing-msing orang tuanya.
Ø
Upaya
Mengatasi Hambatan
Adapun langkah yang
diambil praktikan dalam mengatasi berbagai hambatan di lapangan yaitu sebelum
melakukan wawancara praktikan menjelaskan tentang peran dan fungsi praktikan
sekalipun juga sebagai guru di SMK Negeri 8 Semarang baik kepada siswa maupun
kepada orang tua klien. Setelah diberi penjelasan klien dan orang tua klien
merasa nyaman dan merasa terbantu dengan kehadiran praktikan.
Upaya mengatasi hambatan yang berkaitan dengan waktu wawancara dengan
klien dilakukan pada saat istirahat maupun setelah selesai KBM dan jika
memungkinkan pada saat KBM dengan ijin guru pelajaran pada saat itu. Untuk
mendapatkan data sebenarnya tentang karakter atau perlakuan orang tua terhadap
klien, maka praktikan memberikan surat panggilan pada orang tua ke sekolah
dalam waktu yang berbeda.
Ø
Pelajaran
Yang Dapat Dipetik
Pelajaran
yang dapat dipetik dari pelaksanaan asesmen ini adalah proses ini sangat
membutuhkan penguasaan pengetahuan yang cukup sehingga dalam memberikan
penjelasan terhadap suatu fenomena terutama dalam memahami permasalahan dan situasi klien dapat dilakukan dengan
tepat.
Dalam
pelaksanaan asesmen terutama dalam aplikasi peralatan asesmen memerlukan seni
dan ketrampilan yang memadai artinya aplikasi di lapangan sangat menyesuaikan
kondisi yang terjadi di lapangan. Penyesuaian dengan kondisi lapangan
memungkinkan keberhasilan dalam melakukan asesmen, dimana informasi yang
diperlukan dapat diperoleh secara lengkap.
10. Perencanaan
Program Intervensi
Perencanaan
merupakan proses kegiatan menyusun program atas dasar data dan informasi yang
terkumpul dari pelaksanaan asesmen. Penyusunan rencana intervensi ini berisikan
serangkaian kegiatan yang dimulai dari proses persiapan hingga diperoleh hasil perencanaan yaitu
berupa program intervensi. Untuk mengatasi masalah yang dialami klien ED,
praktikan merencanakan untuk melaksanakan program intervensi yang berupa:
. 1). Nama program
Terapi Attachment Base Family Therapy- Adolescent untuk orang tua yang
memiliki pola asuh / melakukan perlakuan salah pada remaja
2) Latar belakang
Berdasarkan
hasil asesmen melalui wawancara, observasi serta studi dokumentasi dan
dipertajam dengan asesmen lanjutan yaitu genogram dan ecomap maka intervensi
yang tepat untuk klien ED
dan konstelasi masalahnya adalah dengan menggunakan tehnik terapi ABFT-A
(ATTACHMENT-BASE FAMILY THERAPY – ADOLESENCE. (handbook of clinical family therapy, Jay.
L. Lebow, 2005 : 35)
“ABFT treatment focuses first on helping the
family identify and discuss past and present conflicts that have violated the
attachment bond and damaged trust…… We have begun to adapt ABFT to working with
anxious adolescents (Siqueland, Rynn, & Diamond, 2005). This approach
combines ABFT with individual cognitive behavioral treatment”. ).
“Fokus
utama ABFT treatmen untuk membantu keluarga dengan mengidentifikasikan dan
mendiskusikan serta menggambarkan konflik yang mengganggu kedekatan serta
rusaknya kepercayaan antara keluarga….. (Siqueland, Rynn, & Diamond, 2005),
Pendekatan ini menggabungkan ABFT dengan CBT secara individual”.
Intervensi ini didasarkan bahwa tidak saja keluarga yang
akan mendapat intervensi akan tetapi klien pula juga akan memperoleh intervensi
dalam proses intervensi ini. Sehingga dengan hanya menggunakan terapi ini
diharapkan efek positif intervensi yang ada diperuntukkan bagi klien dan
keluarga klien.
Didasarkan hasil asesmen serta
analisis kebutuhan intervensi maka program ini dipilh karena mengingat fokus
masalah yang dialami klien adalah tentang pola pengasuhan yang salah dari
keluarga klien yang mengakibatkan masalah
kurangnya motivasi belajar pada klien karena orang tua kurang memiliki
tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien dan melakukan perannya sehingga
klien bekerja dengan cara berjualan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
3) Maksud
dan tujuan
Maksud
dari terapi keluarga dengan menggunakan tehnik ABFT-A ini adalah untuk memperbaiki
pola pengasuhan orang tua klien serta menyelesaikan konflik orang tua dan anak.
Selanjutnya dalam Buku Handbook of clinical family therapy, Jay. L. Lebow, 2005 : 35 disebutkan :
“ABFT-A targets four
primary processes: parental beliefs about anxiety, family modeling of anxious
behavior, encouragement of avoidance, and psychological control related to
communication and negotiation of conflict.
Dari
kerangka model terapi ini maka tujuan dari kegiatan ini adalah :
a) Memperbaiki pola pengasuhan dari orangtua
kepada klien
b) Perlakuan bapak yang masa
bodoh terhadap anak serta
konflik dalam keluarga untuk menghindarkan klien dari perasaan cemas dan
kurang motivasi belajar.
c) Menyusun kembali (negosiasi) tentang
peran dan tugas masing-masing keluarga berkaitan dengan interaksi dalam
keluarga.
4)
Strategi & mekanisme kerja
a)
Membentuk
Kembali Hubungan
1) Membangun kehangatan hubungan antara
klien dengan bapaknya melalui kegiatan terapi family ini.
2) Antara klien dengan bapaknya terjalin
hubungan yang erat kembali (bonding)
3) Menemu kenali duduk masalah diantara
anggota keluarga
4) Memahami kesalahan serta persepasi
salah antara anggota keluarga
b)
Membangun
Kerja Sama Dengan Remaja
1)
Melalui
konseling individual mendiskuskan berbagai tugas penyelesaian masalah yang
dialamai klien.
2)
Membangun
kepercayaan diri klien tentang persoalan tugas perkembang klien (baik ciri
sekunder maupun primer) agar klien
tidak merasa cemas.
3)
Membangun
kepercayaan diri klien untuk membangun
relasi dengan sebaya dengan lebih banyak lagi teman.
4)
Memperkuat
ego klien untuk mampu menghadapi berbagai sumber stress agar mampu mengeloanya
dengan tepat serta memiliki pertahanan diri yang kuat.
c)
Membangun
Kerja Sama Dengan Orangtua
1)
Melalui
kegiatan family terapi orangtua semakin menyadari perlakuan yang salah kepada klien sebagai
penyebab masalah kurangnya motivasi belajar pada siswa.
2)
Menyusun
agreemen tentang pola
asuh dan perlakuan yang harus dilakukan sesuai peran serta menghindari pola asuh yang dapat
menimbulkan penyebab pencetus bagi klien.
3)
Secara
menyeluruh dari kerabat melalui bapak menyatukan pola asuh yang sama kepada
klien ED.
d) Tugas Kasih Sayang
1)
Memberikan
tugas kepada keluarga untuk saling memperlakukan dengan tepat setiap reaksi
yang ada dari masing-masing anggota keluarga.
2)
Memberikan
tugas kepada anggota keluarga untuk saling ,mendukung dan membantu klien ED untuk mendorong perkembangan yang
maksimal.
e) Promoting
Competency
1)
Pertemuan
berkala setiap satu minggu sekali untuk melihat, mengukur serta menjelaskan
perkembangan masing-masing anggota dalam berinteraksi.
2)
Dalam
pertemuan menekankan pada sejauh mana perkembangan masing-masing anggota
keluarga serta kesulitan apa yang ditemukan selama proses intervensi.
3)
Merumuskan
langkah tentang bagaimana pemecahan masalah jika terjadi kesulitan
4)
Kegiatan
ini sekaligus sebagai model pemecahan masalah bagi keluarga sekaligus
menjadikan kegiatan “habit” dalam proses pertolongan tanpa praktikan.
5).
Metode dan tehnik
Metode yang
digunakan adalah metode pekerjaan sosial indvidu (Social Case Work) dengan menggunakan pendekatan teori ekosistem.
Dimana Pendekatan ekosistem memberikan pandangan yang lebih spesifik mengenai
dunia, dan cenderung menekankan pada sistem individu dan keluarga. Tehnik yang
dilakukan adalah Terapi Family dengan menggunakan ABFT-A sebagai terapinya. Hal
ini dipertimbangkan oleh praktikan dengan mndasarkan pada fakta yang ditemukan
dilapangan berkaitan dengan gejala serta penyebab masalah klien.
6). Sasaran
a)
Bapak
ED
b)
Ibu ED
c)
Klien
ED
d)
Adik klien
7).
Pengorganisasain
Dalam
kegiatan ini membutuhkan ketepatan serta kesuaian kegiatan jadwal dari
masing-masing anggota untuk bisa bertemu dalam kegiatan terapi keluarga. Dalam
kegiatan ini dilaksanakan kegiatan 2 kali sesi, pada kegiatan terapi keluarga.
Mengingat perencanaan waktu yang hanya 2 minggu bagi pelaksanaan intervensi ini
maka jadwal pelaksanaan menyesuaikan
dengan kebutuhan dan aktifitas keluarga ED. Kegiatan dilaksanakan di rumah klien berdasar kesepakatan dengan pihak
keluarga dan klien.
8).
Alat ukur
Dengan kegiatan
ini serta peran serta dari orangtua dalam proses intevensi diharapkan mencapai
target dibawah ini :
a) Terlaksananya kegiatan terapi keluarga
sesuai jadwal.
b) Perlakuan bapak yang penuh kasih sayang
dan tidak terjadi
konflik
c) Adanya komitmen dalam pola asuh antara
orangtua dan klien.
d) Adanya komitmen tentang peran dan
tugas anggota keluarga.
e) Meningkatnya
motivasi belajar pada klien ED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar