Senin, 05 April 2021

Studi Kasus "ED"

 

A.             STUDI  KASUS “ED”

1.    Identitas


Nama Klien                        : ED      

Tempat/Tanggal Lahir        : Klaten, 23 Juli 1993

Sekolah                               : SMK Negeri 8 Semarang

Agama                               : Kristen

Alamat                               : Semarang

                Jenis Kelamin                     : Laki-laki

 

 

                 Nama Ayah                         : IS

                 Tempat/Tanggal Lahir         : Yogyakarta, 10 Januari 1971

                 Pendidikan                         : SMP

                 Pekerjaan                           : Berjualan mainan anak-anak

                 Agama                                : Kristen

                 Alamat                                : Semarang

 

 

                 Nama Ibu                            : PW

                 Tempat/Tanggal Lahir         : Klaten, 3 Maret 1973

                 Pendidikan                          : SMP

                 Pekerjaan                           : -

                 Agama                                : Kristen

                 Alamat                                : Semarang

 

 


 

            SUSUNAN KELUARGA       

No

Nama

Tempat/Tanggal Lahir

Status

Pendidikan

Pekerjaan

1

IS

Yogyakarta,

10 Januari 1971

Ayah

SMP

Dagang

2

PW

Klaten,

03 Maret 1973

Ibu

SMP

Ibu Rumah Tangga

3

ED

Klaten,

23 Juni 1993

Klien

SMK

Pelajar

4

DN

Wonosobo,

24 November 1994

Adik Klien

SMK

Pelajar

 




GENOGRAM KELUARGA  “ ED ”




         Keterangan       :

 

                 








2.  Latar Belakang Kehidupan Klien


      ED merupakan anak pertama dari pasangan Ibu PW dan Bapak IS yang lahir di Klaten, 23 Juli 1993. Ayah ED keturunan cina sedagkan ibunya orang jawa asli. Saat ini ED duduk di Kelas XII SMK Negeri 8 Semarang Program Keahian Rekayasa Perangkat Lunak. ED mempunyai seorang adik perempuan bernama DN yang juga bersekolah di SMK Negeri 8 Semarang Kelas X Program Keahlian Pekerjaan Sosial. Ayahnya bekerja sebagai penjual mainan anak-anak di depan SD Puri Anjasmoro dan SD Petompon Semarang, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Dari berjualan mainan ayah ED mendapatkan keuntungan Rp.50.000,-  s.d Rp.100.000,- per hari.



ED termasuk anak yang tidak diharapkan oleh orang tuanya karena ibunya hamil dengan ayahnya sebelum pernikahan (hamil sebelum nikah). Sejak bayi ED diasuh oleh kakek dan neneknya dari pihak ibu di Klaten, sedangkan ayah dan ibunya pada saat itu tinggal di Jogyakarta yang kemudian pindah ke Semarang pada Tahun 2002. Sejak Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), ED bersekolah di Klaten bersama kakek dan neneknya, sedangkan yang membiayai sekolah adalah orang tuanya. Setelah memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), ED disekolahkan di Wonosobo oleh pamannya dari pihak ayah yaitu di Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) program keahlian/jurusan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL). Kesibukan ED setelah sekolah adalah membantu pamannya menjaga toko yang berjualan sembako. Hanya 1 (satu) semester ED sekolah di SMK Wonosobo tersebut, kemudian ED dikembalikan oleh pamannya ke orang tuanya di Semarang karena ED ketahuan minum minuman keras berupa bir dan mengambil uang pamannya untuk membeli HP. 



Pada Bulan Januari 2008 memasuki semester 2 (dua) ED masuk ke SMK Negeri 8 Semarang pada program keahlian yang sama yaitu RPL (Rekayasa Perangkat Lunak). Pamannya di Wonosobo beranji akan membiayai sekolah ED sampai lulus SMK meskipun sudah tinggal dengan orang tuanya di Semarang.

      Sejak pertama kali tinggal dengan kedua orang tuanya, ED merasa asing dengan mereka terutama dengan ayahnya karena sejak ED tinggal dengan kakek dan neneknya maupun dengan pamannya, kedua orang tua ED jarang mengunjunginya dan mereka mengunjungi hanya setiap 3 – 6 bulan sekali. ED merasa tidak nyaman dan tidak betah tinggal dengan orang tuanya, terlebih ED sering dimarahi dan disalah-salahkan oleh kedua orang tuanya karena sudah tidak diperbolehkan tinggal dengan pamannya di Wonosobo, sehingga semua kebutuhan sehari-hari ED orang tuanya yang menanggung karena pamannya hanya membiayai sekolah / uang komite sekolahnya saja. Tak jarang pula ED mendengar keributan kedua orang tua karena masalah ekonomi. Baru 3 bulan ED tinggal bersama orang tuanya, ED disuruh membantu berjualan mainan di depan SD setelah pulang sekolah. Hasil berjulan itupun diberikan pada kedua orang tuanya, dengan setiap harinya ED diberi uang saku sebesar Rp. 3.000,- dan Rp. 5.000,- setiap 2 hari sekali untuk membeli bensin karena ED dan adiknya kalau berangkat ke sekolah naik motor berboncengan.

      Pada saat Kelas X dan Kelas XI semester 1 (satu), ED masih merasa semangat bersekolah dan belajar, sehingga nilai-nlai dari semua mata pelajaran telah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). ED bisa menerima sikap orang tuanya, terutama ayahnya yang sering marah-marah atau ngomel-ngomel pada saat dia minta uang tambahan untuk membeli keperluan sekolah. Memasuki semester 2 Kelas XI, ED dipinjami uang ibunya sebesar Rp. 175.000,- sebagai modal untuk berjualan mainan. Jadi ED tidak membantu ayahnya berjualan lagi, tetapi ED sudah berjulan dengan barang dagangan sendiri setelah pulang sekolah. Setelah berjualan selama kurang lebih 3 bulan, akhirnya ED sudah bisa mengembalkan uang ibunya yang dipakai sebagai modal berjualan.

             

      Pada suatu ketika, terjadi pertengkaran yang hebat antara ED dengan ayahnya gara-gara ED minta uang Rp. 10.000,- untuk mengkuti kegiatan renang di sekolah. Bahkan dalam pertengkaran itu ED dikatakan ayahnya sebagai seorang homoseks. Hal inilah yang menyebabkan ED pergi dari rumah dan tinggal di tempat saudaranya (pak De) di daerah sampangan selama 3 minggu. Sejak itu ayahnya merasa ED sudah bisa mencari uang sendiri sehingga tidak harus minta orang tuanya. Sejak kepergiannya itu, ED setiap harinya berjualan menjajagan mainan anak-anak dari SD yang satu ke SD lainnya dan tidak pernah masuk sekolah selama 2 minggu berturut-turut. ED sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan untuk bersekolah lagi dan ingin mencari uang karena orang tuannya sama sekali sudah tidak mempedulikan dirinya. ED harus berpikir keras bagaimana dia mendapatkan uang karena orang tuanya sudah tidak mempedulikannya lagi.

 


3.  Gejala Masalah

      Pada Hari Sabtu, Tanggal 24 April 2010 orang tua ED ke sekolah menemui wali kelas dan guru BK karena mendapat surat panggilan dari sekolah untuk menemui wali kelas dan guru BK sehubungan dengan ketidakhadirannya selama 2 minggu dan tidak mengikuti UHT (Ulangan Harian Terprogram) pada semester genap. Diperoleh informasi dari kedua orang tuanya bahwa ED saat ini tinggal bersama pak de nya dan berjualan mainan. Kedua orang tuanya berjanji akan membujuk ED untuk pulang ke rumah dan kembali bersekolah. Karena dibujuk oleh kedua orang tuanya dan Pak de nya, akhirnya ED mau kembali ke rumah orang tuanya dan masuk sekolah dan mengikuti UHT susulan. Setelah UHT, ED mengikuti kegiatan Praktek Kerja Industri (Prakerin) di PT. Indosat Semarang.

      Pada saat kenaikan kelas, ED dinyatakan naik ke kelas XII tetapi tidak diijinkan untuk mengikuti kegiatan Praktek Kerja Industri (Prakerin) di Kelas XII yang seharusnya dimulai sejak Tanggal 19 Juli 2010 karena belum menyelesaikan laporan  prekerin Kelas XI dan belum mengikuti uji laporan prakerin Kelas XI. Akhirnya sekolah mengambil kebijakan agar ED segera menyelesaikan laporan prakerin dan segera mengikuti uji laporan prakerin sehingga dapat melaksanakan prakerin di Kantor Pemilihan Umum (KPU) Semarang. Menurut pengamatan praktikan yang dilakukan pada Tanggal 31 Juli 2010 dan 2 Agustus 2010, ED kurang memiliki semangat dan motivasi dalam menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah, yaitu segera menyelesaikan laporan. Hal ini terlihat ED diperpustakaan hanya membaca koran dan tidur-tiduran di loker perpustakaan. Dari nilai raport menunjukkan bahwa nilai ED kelas XI mengalami penurunan jika dibandingkan kelas X, demikian juga nilai raport kelas XI semester 2 sangat menurun.

      Menurut pengakuan ED, dia sangat kelelahan karena setelah pulang sekolah dia harus berjualan mainan anak-anak sehingga tidak pernah belajar.  Dia harus berpikir keras untuk  bisa mendapatkan uang setiap harinya, karena orang tuanya sudah tidak mau memberinya uang, baik untuk uang sakunya maupun membeli bensin setiap harinya. ED pun berpikir kalau kelas XII ini banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan sekolah, sedangkan orang tuanya sudah tidak pernah memberinya uang. Rasa-rasanya ED sudah tidak betah tinggal bersama orang tuanya, sehingga ED jarang berkomunikasi dengan ayahnya. Bahkan ada rasa dendam pada ayahnya karena sudah 3 (tiga) kali ED dikatakan ayahnya sebagai seorang yang mengalami homoseks. ED merasa sakit sekali kalau mengingat perkataan ayahnya tersebut, bahkan tidak akan pernah bisa melupakannya sampai kapanpun. Sampai dengan saat ini ED belum mengikuti kegiatan prakerin yang seharusnya harus sudah diikuti sebulan yang lalu. Sampai saat ini laporan prakerin juga belum diselesaikan oleh ED sehingga uji laporan prakerinpun belum bisa dilaksanakan meskipun setiap hari ED diwajibkan datang ke sekolah untuk menyelesaikan laporan prakerin tersebut.

 



4.  Dinamika Keberfungsian Klien


                      1.      Keberfungsian Fisik

Secara fisik klien tidak menunjukkan adanya masalah dalam arti memiliki fisik yang normal dan berpenampilan rapi. Berat badan klien 45 kg dan tinggi 165 cm, tubuh langsing, rambut hitam lurus, hidung mancung, mata sipit dan warna kulit kuning langsat. Gerakan lamban dan terkesan agak lemah gemulai, suara pelan, tidak memiliki jerawat, mulai tumbuh jambang. Klien tidak mempunyai riwayat sakit yang serius hingga sampai opname di rumah sakit, sedangkan sakit yang pernah dialami hanya masuk angin, flu dan panas yang hanya beberapa hari saja. Mengenai panca indera yang berkaitan dengan pendengaran, penciuman, perasa, peraba tidak ada masalah tetapi yang berkaitan dengan penglihatan klien mengalami minus 3 sehingga harus memakai kaca mata. Dalam keluarga klien tidak pernah dibiasakan untuk makan bersama bahkan kadang-kadang tidak ada makanan yang siap tersedia karena harus membeli lauk mateng terlebih dahulu. Demikian pada saat berangkat sekolah, klienpun jarang sarapan karena tidak selalu tersedia di rumah. Klien juga tidak mempunyai kebiasaan rutin untuk berolah raga, hanya sesekali klien menggerakkan badan setelah bangun pagi. Mengenai kebiasaan untuk tidur siang hanya sesekali saja apabila tidak berjualan, sedangkan untuk tidur malam sekitar pukul 21.00 WIB klien sudah tidur dan bangun pukul 05.30 WIB.

 

                      2.      Keberfungsian  Intelektual

Klien selama menempuh pendidikan mulai SD sampai SMK kelas XI sekarang ini belum pernah tinggal kelas, walaupun belum pernah memiliki prestasi yang tinggi. Semula klien tidak memahami tentang komputer dan tidak tahu apa itu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) program keahlian Rekayasa Perangkat Lunak (RPL). Di Wonosobo ED mendaftar SMK Program Keahlian RPL hanya ikut-ikutan temannya.. Walaupun demikian setelah mengikuti pelajaran kejuruan/produktif, akhirnya ED merasa menyukai jurusan yang diambilnya itu. Hal ini terlihat dalam nilai-nilai raport klien kelas X nilai-nilai produktif atau kejuruan termasuk kategori baik. Prestasi belajar klien termasuk biasa-biasa saja dalam arti tidak begitu menonjol atau mendapat peringkat di kelasnya. Mulai memasuki semester 2 kelas XI nilai-nilai klien menururn bahkan pas dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Menurut pengakuan klien sebenarnya dia tidak mengalami kesulitan dalam menerima dan memahami pelajaran di sekolah, tetapi karena klien sudah lelah berjualan mainan anak-anak setelah pulang sekolah bahkan sampai jam 23.30 WIB itulah yang menyebabkan klien jarang belajar pada malam harinya sehingga menyebabkan nilai-nilainya hanya pas-pasan saja. Sesekali klien belajar atau  mengerjakan tugas pada malam hari apabila ada tugas akan dikumpulkan esok harinya. Mengenai pelajaran yang disukai klien adalah pendidikan agama kristen dan guru yang disukai adalah Pak Hendi sebagai guru agama kristen tersebut karena masih muda, pinter dan enak kalau menjelaskan. Pelajaran yang tidak disukai adalah Ilmu Pengetahuan Sosial sedang gurunya yang tidak disukai adalah Bapak Turmudi karena orangnya kalau menjelaskan jarang dimengerti, sering marah-marah dan nilainya pelit katnya. Klien sangat menyadari bahwa nilainya saat ini pas-pasan, tetapi klien hanya pasarah karena dia tidak mempunyai waktu yang leluasa untuk belajar. Klien merasa sudah lelah karena setelah pulang sekolah dia berjualan mainan sampai sore hari menjelang maghrib bahkan sampai tengah malam sehingga ED sudah lelah dan sudah tidak mempunyai waktu dan semangat untuk belajar. 




                      1.      Keberfungsian Psikologis/Emosional

Klien menggambarkan dirinya sebagai anak yang kurang beruntung karena tinggal dengan orang tua yang kurang memperhatikan dan menyayangi dirinya. Klien merasakan kalau kehadiriannya tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya karena dulu ibunya hamil dirinya sebelum ayah dan ibunya menikah meskipun ayahnya sekarang itulah yang menghamli ibunya. Klien bisa merasakan hal ini karena sejak lahir sampai sekolah SMP klien dititipkan ke neneknya di Klaten dari pihak ibu sedangkan pada saat memasuki sekolah SLTA klien tinggal bersama pamannya di Wonosobo dan pamannya inilah menyekolahkan klien di SMK Wonosobo. Hal ini diungkapkan oleh klien sebagai berikut :

“Saya kayaknya termasuk anak yang kurang beruntung ya bu. Sejak lahir sampai SMP saya tinggal dengan kakek nenek di Klaten, sedangkan SMK saya tinggal dengan Om saya di Wonosobo. Baru kelas X semester 2 saya ikut orang tua, tapi kok kayak gini. Apa karena dulu ibu hamil saya dengan ayah sebelum menikah sehingga kelahiran saya tidak diinginkan ya bu? Saya menyesal berbuat kesalahan karena ikut-ikutan teman mencoba minum minuman keras sehingga Om marah sekali dan saya diserahkan ke ayah dan ibu”.

 

                        Klien merasa tidak betah tinggal di rumah karena jarang berkomunkasi bahkan tak jarang pula bersitegang dengan ayahnya dan hanya kadang-kadang berbicara dengan ibunya itupun kalau klien menginginkan sesuatu, seperti diungkapkan klien sebagai berikut :

 

                                    “Saya sebenarnya merasa males di rumah. Di rumah saya merasa tidak nyaman karena saya males dengan ayah saya. Ayah orangnya cuek, selalu ngomel-ngomel kalau dimintain uang, padahal untuk sangu dan beli bensin. Saya pengen sesudah lulus saya bekerja dan keluar dari rumah. Saya sakit hati sama ayah karena saya dikatakan homoseks padahal saya enggak. Ayah dan ibu juga kadang-kadang ribut masalah ekonomi yang katanya harus memikirkan cicilan 2 motor sebesar Rp. 700.00,- an perbulan”.

 

Klien termasuk orang yang jarang berbicara dan sebenarnya bisa mengendalikan emosi dan lebih suka diam kalau kurang berkenan terhadap sesuatu. Hal ini pernah terjadi pada saat klien dimarah-marah dan diomel-omeli ayahnya pada saat meminta uang tetapi klien diam saja, pada saat sekali dua kali dikatakan seorang yang homoseks, klien juga diam saja. Setelah ayahnya mengatakan dirinya homoseks yang ketiga kalinya itulah klien akhirnya marah dan terjadi adu mulut yang hebat dengan ayahnya dan klien memutuskan tidak mau tinggal dengan orang tuanya lagi dan memilih tinggal dengan pak de nya yang letaknya 3 km dari rumahnya.

Klien sangat menyayangi adiknya, bahkan kadang-kadang juga kasihan dengan adiknya kalau dimarahi ayah atau ibunya. Pada saat klien di sekolah klien merasa senang dan dapat melupakan situasi dirumah.




                      1.      Keberfungsian Sosial

Menurut informasi dari Ketua RT 02 RW IV Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati, ED termasuk orang yang bisa bergaul dengan teman-temannya di kampung meskipun baru ± 3 bulan menjadi warga di wilayahnya. Kadang-kadang ED mau mengikuti kegiatan remaja di RT dan mau menjadi panitia (sinoman) ketika diwilayahnya ada yang mempunyai hajat. Menurut Bapak ketua RT, ED juga sering bercerita dengan teman-temannya pada saat kumpul-kumpul kalau dia sering berselisih dengan ayahnya  dan mengeluhkan sikap ayahnya yang tidak pernah mengurusi dirinya sehingga dia harus berjualan untuk membiayai kebutuhannya. Bahkan kalau jualannya ramai, dia mentraktir teman-temannya mie ayam. bulan menempati rumahnya sekarang. Semula klien tinggal di daerah sampangan yang letaknya ± 3 km dari rumahnya sekarang, tetapi dijual dan dibelikan tanah dan dibangun rumah yang ditempatinya saat ini.

 

            Hubungan ED dengan teman-teman di sekolahnya biasa-biasa saja, dalam arti ED tidak pernah pergi bersama teman-temannya atau nongkrong dengan teman-temannya, terlebih saat ini teman-temannya sedang melakukan Prakrin dan hanya tiap Hari Sabtu ke sekolahnya. Dulu dia pernah dekat dengan teman satu kelas yang bernama Putri Yulistiya bahkan sempat diisukan mereka pacaran, tetapi sekarang tidak lagi. Dengan teman di luar kelasnya ED mempunyai teman yang terbatas yaitu hanya mereka yang sama-sama beragama kristen terutama Dessi Trisiana kelas XII Multimedia.

Hubungan klien dengan orang tuanya yaitu ibunya tidak begitu dekat, dan dengan ayahnya bisa dikatakan renggang karena jarang berkomunkasi dan penuh dengan konflik. Pada saat klien berselisih dengan orang tuanya klien sering tidak pulang ke rumah dan tidur ditempat temannya bahkan pernah tidur di warnet sampai pagi.  Klien merasa tidak menyukai ayahnya karena sering ngomel-ngomel kalau dimintai uang dan sudah 3 kali mengatakan klien homoseks.Hubungan klien dengan kedua orang tuanya tidak begitu akrab karena sejak kecil klien tidak tinggal bersama mereka. Sejak lahir sampai dengan SMP ikut dengan kakek neneknya di Klaten, sedangkan SMK ikut pamannya di Wonosobo, belum ada 2 tahun klien tinggal bersama kedua orang tuanya di Semarang. Dari hasil pengukuran terhadap Indeks Hubungan Keluarga (Index Of Family Relation) menunjukkan bahwa hubungan Klien dengan anggota keluarga Rendah, yang ditunjukkan dengan skor 74. (Hasil pengukuran terlampir).

Hubungan sosial klien dapat digambarkan pada diagram ecomap yanag dapat menjelaskan hubungan antara klien dengan anggota keluarga maupun dengan temannya.  Hubungan sosial tersebut digambarkan dengan berbagai simbol yang menunjukkan kualitas hubungan sosial klien yaitu hubungan sangat mendukung, hubungan yang dekat, hubungan jauh dan hubungan penuh dengan tekanan. Adapun gambaran hubungan sosial klien dalam ecomap dapat dilihat pada gambar berikut ini :






Hubungan klien dengan adiknya sangat akrab, klien sangat menyayangi adiknya. Setiap berangkat dan pulang sekolah klien dan adiknya bersama-sama dengan naik motor berboncengan. Kalau jualannya ramai, adiknya sering diberi uang sama klien karena menurut klien adiknya hanya diberi uang saku Rp. 2.000,- setiap harinya. Demikian juga adknya juga sayang dengan klien, seperti diungkapkan sebagai berikut :

“Saya sering kasihan bu, sama mas Danny kalau dimarah-marah sama ayah. Kadang-kadang saya berpikir, kenapa ayah bisa seperti itu. (sambil nangis). Dulu mas Danny diberi uang saku Rp. 3000,- setiap hari dan uang bensin Rp. 5,000,- setiap dua hari sekali, tetapi sekarang sama sekali mas Danny tidak diberi uang sehingga mas Danny harus berjualan. Saya sering dikatain sudah besar tidak bisa cari uang, tidak seperti mas Danny katanya yang sudah bisa cari uang”.

 

Ayah klien sebenarnya takut sama ibu klien, karena ibu sering marah-marah kalau ibu tidak mempunyai uang untuk berbelanja, misalnya membeli beras, belanja masakan, seperti diunagkapkan klien sebagai berikut :

“Ayah itu takut lho bu sebenarnya sama ibu, wong ibu itu sering marah-marah kalau ibu nggak dikasih uang belanja. Pokoknya ibu sering ngomel-ngomel sama ayah kalau tidak punya uang belanja. Tapi ya itu, kalau ibu nggak ada, gantian saya dan adik yang jadi sasaran sama ayah gantian ayah marah-marahi saya dan adik”.

 

Menurut teman-temannya di sekolah, klien orangnya baik dan tidak pernah berselisih dengan teman-temannya di sekolah baik yang satu kelas maupun di luar kelasnya, bahkan dia pernah dekat dengan teman satu kelasnya yang bernama Putri Yulisiya meskipun tidak berpacaran. Setelah pulang sekolah klien langsung cepat-cepat pulang karena akan berjulan, seperti dikatakan teman-teman klien sebagai berikut :

“Denny itu orangnya baik bu, tapi kasihan. Dia sering bercerita ke kita-kita kalau tidak pernah diberi uang sama orang tuanya sehingga harus berjualan mainan di depan SD. Dia itu tidak punya rasa malu berjualan karena pernah juga berjualan bolpoint ke guru-guru, berjualan pensil 2B pada saat ujian dan berjualan cepit rambut dan assesoris HP di kelas-kelas pada saat istirahat.. Makanya setelah pulang sekolah dia cepet-cepet pulang karena akan berjualan.

                       

            Praktikan juga pernah menjumpai ED berangkat ke sekolah dengan membawa dagangannya yang berupa mainan anak-anak yang dimasukkan ke dalam tas dan ditaruh diboncengan motornya. Menurut pengakuan ED, dagangannya itu dibawa ke sekolah karena setelah pulang sekolah dia tidak pulang dulu, tapi lansung berjualan di depan SD yang masuk siang maupun ke tempat pengajian anak-anak. Mengenai hasil pengukuran terhadap Indeks Hubungan dengan saudara Kandung Perempuan (Index Of Sister Relation)  menunjukkan bahwa hubungan klien dengan saudara kandung perempuan sedang, dengan skor 124. (hasil pengukuran terlampir).




                      1.      Potensi dan Sumber

Potensi yang dimaksud di sini adalah segala kekuatan yang dimiliki klien yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pemecahan masalah klien, termasuk bakat dan minat klien. Potensi yang dimiliki klien adalah bakat dan keuletan klien untuk berdagang. Hal ini dibuktikan oleh klien pada saat pulang sekolah berjualan mainan anak-anak di depan Sekolah dari SD yang satu ke SD yang lain bahkan masih berseragam sekolah klien kulakan mainan  terlebih dahulu ke pasar johar apabila dagangannya telah habis. Pernah juga klien berjualan di sekolah pada saat istirahat dari kelas yang satu ke kalas yang lain atau menawarkan dagangannya kepada guru-guru yang berupa alat-alat tulis, cepit rambut dan asesoris tanpa ada rasa sungkan dan malu.

Sumber yang ada disekitar klien dapat berupa sumber informal, sumber formal dan sumber kemasyarakatan. Sumber informal (sumber alamiah) berupa dukungan emosional dan afeksi, nasehat, informasi dan pelayanan-pelayanan konkret lainnya. Sumber informal yang dapat digunakan klien dalam memecahkan masalah yang dialaminya dapat berasal dari keluarga, teman, tetangga serta orang-orang yang dapat memberikan bantuan.

Sumber informal yang dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah klien berupa dukungan dari orang tua, keinginan orang tua, dukungan dari kerabat terutama Pak De, dan keinginan klien untuk keluar dari permasalahannya.

Sumber formal adalah sumber yang dapat memberikan bantuan atau pelayanan langsung terutama kepada para anggotanya. Bisaanya berbentuk lembaga-lembaga formal atau tokoh-tokoh formal. Sumber formal yang terdapat di wilayah atau lingkungan klien yang dapat digunakan adalah adanya OSIS (Organisai Siswa Intra Sekolah), adanya guru dan wali kelas, serta kelompok arisan remaja di wilayah RT 02 RW IV.

Sumber kemasyarakatan adalah sumber yang dapat memberikan bantuan kepada masyarakat umum. Sumber ini dapat berupa sekolah, Perkumpulan remaja, Puskesmas dan posyandu, PKK, dan tempat-tempat ibadah.

Berbagai jenis sistem sumber yang ada disekitar klien dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi klien. Namun sumber-sumber yang ada tersebut terutama sumber informal dan kemasyarakatan belum dapat digunakan secara optimal karena sumber-sumber tersebut tidak menyediakan pelayanan yang dibutuhkan klien. Sumber yang dapat digunakan adalah sistem sumber formal karena keberadaannya sangat dekat dengan klien dan sumber ini yang dimiliki klien saat ini.

                      2.      Analisis Masalah

Analisis data yang diperoleh dari hasil asessmen pada klien adalah merupakan kegiatan mencari dan menyusun informasi dari klien sehingga informasi tersebut menjadi mudah dipahami dan bermanfaat untuk pengambilan keputusan terbaik berkaitan dengan usaha pertolongan pada klien. Philip C. Kendall dan Julian D. Norton-Ford dalam clinical psychology bahwa “pengetahuan yang diperoleh dari suatu assesmen klinis juga digunakan untuk memilah dan mengelompokkan orang-orang secara lebih jauh demi memungkinkan penetapan diagnosis yang akurat”.

Selanjutnya Philip C Kandall dan Julian D Norton-Ford mengatakan bahwa “suatu diagnosis mengidentifikasi permasalahan khas yang dialami klien dan juga dipergunakan bagi komunikasi yang efisien dengan ahli lain sehingga dengan begitu dapat dibuat keputusan tentang cara terbaik menangani setiap klien”.

Berdasarkan hasil asesmen terhadap klien, orang tua serta temannya dengan menggunakan serangkaian tehnik asesmen seperti wawancara, observasi dan studi dokumentasi diperoleh gambaran masalah dan kebutuhannya, yaitu klien mengalami gangguan motivasi belajar. Di sekolah klien merasa kurang semangat untuk belajar karena mempunyai kesibukan berjualan mainan setelah pulang sekolah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekolahnya, terutama uang saku dan transport ke sekolah. Selama ini yang menanggung pembayaran uang komite sekolah sebesar Rp. 145.000 per bulan adalah pamannya yang ada di Wonosobo, sedangkan untuk keperluan sekolah lainnya seperti uang saku, transport, dan sebagainya menjadi tanggung jawab orang tuanya. Tetapi karena setiap kali minta uang untuk keperluan sekolah klien dimarahi dan diomel-omeli terus sama orang tuanya, maka klien sudah tidak mau meminta orang tuanya lagi dan memiih untuk mencari uang sendiri dengan cara berjualan mainan setelah pulang sekolah, yang kadang-kadang sampai tengah malam sekitar pukul 23.30 WIB. Saat ini klien sudah bisa mencari uang sendiri, memenuhi kebutuhan sekolahnya tetapi di sekolah memiliki motivasi belajar yang kurang karena merasa kelelahan dan mengantuk pada saat di sekolah. Di rumah ED juga bersikap semaunya sendiri dan tidak mau diatur atau suka menentang orang tuannya karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri dan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

Permasalahan Klien yang teridentifikasi tersebut kemudian dianalisis secara lengkap dari beberapa kondisi. Berdasarkan tinjauan konseptual dan keadaan faktual dilapangan ini, nantinya akan dijadikan sebagai bahan menyusun intervensi dalam rangka pemecahan masalah yang dialami klien.

Untuk dapat mengetahui lebih mendalam tentang Gangguan Tingkah Laku Klien dan Motivasi Belajar Klien dapat dianalisis secara konseptual berikut ini :

(a)       Perspektif Ekologi

Perspektif ekologi  merupakan  suatu alat yang sangat berguna untuk memandang dan memahami dunia. Pendekatan ekologi memberikan pandangan yang lebih spesifik mengenai dunia, cenderung menekankan pada sistem individu dan keluarga. (Carolina, 2007;20)

Menurut pendapat ini pendekatan ekologi dapat dipergunakan untuk memahami hubungan individu dalam keluarga dan bagaimana keduanya saling mempengaruhi. Artinya individu dapat memberi pengaruh dan menerima pengaruh dari anaggota keluarga lainnya. Individu bukan person pasif tetapi aktif dalam lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan Zastrow ( 1999 ; 19) sebagai berikut :

“An ecological model gives attention to both internal and external faktors. It does not view people as passive reactors to their environments but rather as being inveloved in dynamic and reciprocal interactions with them”

 

Perspektif ekologi memberikan perhatian pada faktor-faktor internal dan eksternal. Pendekatan ini tidak melihat seseorang pasif terhadap lingkungan tetapi lebih dinamis dan diantara keduanya saling berinteraksi timbal balik.

Pandangan ekologi merupakan salah satu perspektif dalam pekerjaan sosial yang menekankan pada adanya pengaruh lingkungan terhadap perilaku individu.

Menurut pandangan ekologi gangguan motivasi belajar  dan gangguan tingkah laku yang dialami klien terjadi karena pengaruh lingkungan. Perilaku yang ditampilkan klien  dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian gangguan motivasi belajar dan gangguan tingkah laku pada klien merupakan hasil interaksi tersebut. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan sehingga memunculkan perilaku menyimpang pada  anak. Pertama adanya ketidakmampuan anak untuk  melakukan adaptasi dengan lingkungannya, yaitu lingkungan keluarga. Kira-kira baru 2 (dua) tahun klien tinggal bersama orang tuanya sendiri. Seperti dijelaskan di atas bahwa klien sejak lahir sampai lulus SMP tinggal bersama kakek dan neneknya di desa yaitu di Klaten. Karena klien merupakan cucu pertamanya, sehingga sangat dimanja dan diberi kebebasan oleh kakek dan neneknya. Pada saat memasuki SLTA, klien ikut pamannya dari pihak bapak untuk disekolahkan di Wonosobo tetapi hanya 6 bulan saja atau satu semester saja. Klien dikembalikan ke orang tuanya karena klien melakukan kesalahan yaitu minum minuman keras berupa bir bintang dan mengambil uang pamannya pada saat dipercaya menjaga toko pamannya. Pada saat tinggal bersama orang tuanya, klien merasa tidak mendapatkan perhatian dan kebebasan seperti pada saat tinggal bersama kakek dan neneknya bahkan klien diminta untuk membantu bapaknya berjualan mainan.

          Kedua, adanya disorganisasi sosial pada lingkungan sosial yaitu keluarga dimana anak sering berinteraksi. Lingkungan sosial terdekat dengan anak adalah keluarga, teman bermain, dan lingkungan ketatanggaan. Lingkungan inilah yang turut membentuk perilaku yang ditampilkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian  agar anak dapat menampilkan   perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam kasus yang dialami klien, keluarga bukanlah merupakan tempat dimana kebutuhan-kebutuah anak baik keburuhan fisik maupun psikis dapat terpenuhi. Dalam keluarga klien sering mengalami Emotional Abuse, sering mendapat marah dan omelan-omelan dari orang tua, terutama bapak pada saat meminta uang saku maupun meminta kebutuhan sekolahnya, bahkan bapaknya sering mengatakan bahwa dirinya sudah harus bisa mencari uang sendiri. Bahkan sering pula kalau bapaknya marah dengan klien, sering mengatakan kalau klien adalah seorang homoseks. Hal inilah yang mendorong klien untuk bekerja mencari uang sendiri dengan cara berjualan mainan setelah pulang sekolah demi memenuhi kebutuhannya tanpa meminta dan menggantungkan pada orang tua. Klienpun juga tidak mau kalau orang tua mereka sering ribut hanya karena masalah ekonomi.

Keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsinya atau keberfungsian keluarga diyakini dapat menjamin setiap anggotanya untuk menampilkan peran yang sesuai dengan statusnya. Disamping itu juga bahwa anggota keluarga yang dapat terpenuhi kebutuhannya akan memiliki kecenderungan lebih besar untuk berperilaku pro-sosial. Dengan demikian keberfungsian keluarga merupakan kunci yang perlu dipertimbangkan.

Berdasarkan analisis perspektif ekologi tersebut, perkembangan perilaku anak sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan sosial terdekatnya. Keluarga merupakan salah satu lingkungan sosial yang turut membentuk perilaku anak. Perilaku anak terbentuk melalui interaksi yang intensif antara anak dengan keluarganya. Perilaku anggota keluarga merupakan contoh bagi anak untuk menentukan perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya yang lebih luas. Orang dewasa terutama orangtua merupakan model bagi anak. Kondisi ini menuntut para orang tua untuk dapat menjadi contoh panutan bagi anak dalam berperilaku.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam masa perkembanganya, anak membutuhkan situasi dan kondisi keluarga yang kondusif  dan dapat melaksanakan fungsinya. Dengan demikian perilaku anti sosial  Klien dapat dicegah dari keluarga melalui penguatan fungsi dan peran orang tua.

Memperhatikan  faktor penyebab munculnya permasalahan pada klien ED berdasarkan perspektif ekologi ini disebabkan oleh dua faktor  yaitu faktor yang berasal dari dalam diri klien dan faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor yang berasal dari diri klien berkaitan dengan ketidak mampuan klien dalam menyesuaikan dengan lingkungan keluarga sekarang, termasuk kondisi ekonomi dan sosial orang tuanya. Ketidak mampuan ini mempengaruhi proses adaptasi yang klien lakukan, sehingga berpengaruh pula terhadap perilaku yang klien tampilkan.

Faktor dari luar klien berasal dari lingkungan sosial klien yaitu lingkungan keluarga. Dari keluarga pengaruhnya berasal dari sikap orang tua yang kurang perhatian pada pada klien, selalu menyalahkan klien yang menyebabkan pamannya marah dan klien dikembalikan ke orang tua, sering mengatakan bahwa klien seorang homoseks dan disuruh berjualan mainan untuk mencari penghasilan.

Penyebab terjadinya gangguan tingkah laku dan gangguan motivasi belajar pada diri klien berdasarkan analisis ekologi dapat  dapat dilihat pada skema berikut ini :


Bagan :  Analisis penyebab terjadinya gangguan tingkah laku dan gangguan motivasi belajar klien ED berdasarkan perspektif ekologi.



(a)    Perspektif Teori Attachment (kelekatan)

Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).

Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke,2001) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut ( Durkin, 1995).

Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Adiyanti, 1985).

Menurut Maccoby (dalam Ervika, 2000) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:

1)  Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang

2)  Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat

3)  Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali

4)  Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya

 

Selama ini orang seringkali menyamakan kelekatan dengan ketergantungan (dependency), padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda. Ketergantungan anak pada figur tertentu timbul karena tidak adanya rasa aman. Anak tidak dapat melakukan otonomi jika tidak mendapatkan rasa aman. Hal inilah yang akan menimbulkan ketergantungan pada figur tertentu (Faw dalam Ervika, 2000). Adapun ciri kelekatan adalah memberikan kepercayaan pada orang lain yang dapat memberikan ketenangan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

Dalam menganalisis kasus klien ED berdasarkan teori attachment dapat dijelaskan bahwa antara klien ED dengan ibu terlebih dengan ayahnya kurang memliki attachment (kelekatan) baik secara fisik maupun psikis. Hal ini disebabkan karena sejak lahir sampai dengan klien lulus SMP, klien diasuh oleh kakek dan neneknya di Klaten sedangkan orang tuanya tinggal di Yogyakarta yang akhirnya pindah ke Semarang. Setelah lulus SMP, klien ikut pamannya di Wonosobo dan disekolahkan di sebuah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri program keahlian/jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Baru sekitar 2 Tahun klien tinggal bersama orang tua kandungnya di Semarang, sehingga perlu waktu untuk saling memahami dan menyelami kepribadian masing-masing agar relasi dalam berlangsung secara harmonis, saling bisa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

 

(b)   Perspektif Teori Tugas Perkembangan

Berdasarkan data dan informasi yang terkumpul klien mengalami permasalahan yaitu memiliki Gangguan Tingkah Laku dan Gangguan Motivasi Belajar. Permasalahan yang dialami klien terjadi sebagai akibat dari proses perkembangan sebagaimana dikemukakan Erik Erikson dalam Santroct, John W ( 2003 ), bahwa perkembangan psikososial seseorang terbagi  beberapa tahap klien sampai pada satu tahap yaitu tahap identitas Vs Difusi peran ( 12 – 18 tahun ). Pada tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa, sehingga terjadi kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa, tetapi dilain pihak ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu mencari identitas dalam bidang sexual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun.

Tahap perkembangan terakhir dari masa anak-anak adalah masa remaja (adolescence). Masa remaja seringkali ditandai dengan adanya masalah dalam menentukan konsep diri dan peran. Pertentangan ini terjadi karena adanya keinginan individu untuk menirukan peran orang dewasa, sementara lingkungan masih memperlakukan mereka layaknya seorang anak. Keinginan menirukan peran orang dewasa ini bila tidak diimbangi dengan pemberian perhatian orang tua yang memadai, dan pemberian pendidikan yang benar tentang bagaiman menjadi orang dewasa, sering kali menyebabkan remaja terjerumus dalam berbagai permasalahan.

Berbagai permasalahan yang sering dialami para remaja antara lain : terjadinya kehamilan pada usia remaja, pernikahan usia dini, bunuh diri, merokok, penyalah gunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, melakukan gangguan terhadap ketertiban umum dan bahkan terlibat dalam berbagai tindak kriminal.

Remaja perempuan permasalahan yang sering dihadapi ada kaitannya dengan ketidak-puasan atas bentuk fisik dan tubuhnya, mereka cenderung ingin tampil menarik dan ketakutan akan menjadi kegemukan. Sedangkan pada remaja laki-laki permasalahan yang sering dihadapi seperti keinginannya untuk memiliki postur tubuh atletis. Pemikiran tersebut cenderung mudah menyeret para remaja untuk menggunakan berbagai obat yang diyakini dapat membantu mereka. Disini peran orang tua sangat diperlukan terutama dalam memberikan pengawasan dan perhatian pada mereka. Kegagalan atau kurangnya pengawasan dan perhatian dari orang tua akan membuat mereka mudah terjebak dalam berbagai persoalan seperti penyalahgunaan obat, perkelahian serta tindakan kriminal lainnya.

Masa remaja merupakan masa krisis mencari identitas dirinya, sering seseorang remaja lebih menonjolkan diri merasa superior, merasa mampu dan hal ini ingin ditunjukan pada dunia luarnya atau lingkungannya. Akan menjadi permasalahan apabila seseorang tak mampu mengendalikan dirinya sering terjerumus dalam berbagai permasalahan yang sangat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Peranan orang tua dalam mengarahkan dan memberikan pandangan-pandangan seperti norma susila, norma bergaul, norma agama dan tata cara bermasyarakat yang benar sangat diperlukan sehingga seseorang remaja memiliki wawasan yang cukup tentang kehidupan dan bagaimana hidup dan bergaul dilingkungan dengan baik. Kegagalan pada proses ini akan berpengaruh pada perkembangan remaja, dimana remaja akan berkembang berdasarkan lingkungannya. Akan sangat berpengaruh negatif bila lingkungan yang menjadi tempat remaja bergaul adalah lingkungan yang longgar nilai dan norma dimana remaja ini akan terjerumus pada berbagai persoalan yang sangat merugikan dirinya maupun orang lain. Perilaku Anti Sosial  merupakan bentuk imitasi anak terhadap lingkungan dimana dia berada.

Berkaitan dengan tugas perkembangan, sebagaimana Pikunas (1976) mengutip pendapat Luella Cole (dalam Yusuf, 2004), mengklasifikasikan Sembilan kategori tujuan dari tugas perkembangan remaja yaitu : kematangan emosional, pematangan minat-minat heteroseksual, kematangan sosial, emansipasi dari kontrol keluarga, kematangan intelektual, memilih pekerjaan, menggunakan waktu senggang secara tepat, memiliki fiksafat hidup, dan identitas. Sembilan kategori tujuan tersebut adalah sebagai berikut :

DARI ARAH

KEARAH

KEMATANGAN EMOSIONAL DAN SOSIAL

1.     Tidak toleran dan bersikap superior.

2.     Kaku dalam bergaul

3.     Peniruan buta terhadap teman sebaya

4.     Kontrol orang tua

5.     Perasaan yang tidak jelas tentang dirinya/ orang lain

6.     Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah dan sikap permusuhannya

1.     Bersikap toleran dan merasa nyaman

2.     Luwes dalam bergaul

3.     Interdependensi dan mempunyai Self-Esteem

4.     Kontrol diri sendiri

5.     Perasaan mau menerima dirinya dan orang lain

6.     Mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif.

   DARI ARAH

KEARAH

PERKEMBANGAN HETEROSEKSUALITAS

1.     Belum memiliki kesadaran tentang perubahan seksualnya

2.     Mengidentifikasi orang lain yang sama jenis kelaminnya

3.     Bergaul dengan banyak teman

1.     Menerima identitas seksualnya sebagai pria dan wanita

2.     Mempunyai perhatian terhadap jenis kelamin yang berbeda dan bergaul dengannya

3.     Memilih teman-teman tertentu

KEMATANGAN KOGNITIF

1.     Menyenangi prinsip-prinsip umum dan jawaban yang final

2.     Menerima kebenaran dari sumber otoritas

3.     Memiliki banyak minat atau perhatian

4.     Bersikap subyektif dalam menafsirkan sesuatu

1.     Membutuhkan penjelasan tentang fakta dan teori

2.     Memerlukan bukti sebelum menerima

3.     Memiliki sedikit minat/perhatian terhadap jenis kelamin yang berbeda dan bergaul dengannya

4.     Bersikap obyektif dalam menafsirkan sesuatu

FILSAFAT HIDUP

1.     Tingkah laku dimotivasi oleh kesenangan belaka

2.     Acuh tak acuh terhadap prinsip-prinsip idiologi dan etika

3.     Tingkah lakunya tergantung pada reinforcement (dorongan dari luar)

1.     Tingkah laku dimotivasi oleh aspirasi

2.     Melibatkan diri atau mempunyai perhatian tehadap idiologi dan etika

3.     Tingkah lakunya dibimbing oleh tanggung jawab moral

 

Sumber : Syamsu Yusuf (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Keluarga  (h 73-74) Bandung: Remaja Rosdakarya

 

Pada kematangan emosional dan sosial seseorang akan berkembang dari : Tidak toleran dan bersikap superior menuju pada bersikap toleran dan merasa nyaman, dari Kaku dalam bergaul menuju Luwes dalam bergaul, dari Peniruan buta terhadap teman sebaya. Interdependensi dan mempunyai Self-Esteem, dari Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah dan sikap permusuhannya menuju mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif.

Melihat tugas-tugas perkembangan seseorang klien telah mengalami permasalahan dalam tugas perkembangannya dimana klien masih sering menunjukan kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah dan sikap permusuhan pada orang tua, bahkan tersimpan rasa dendam terutama dengan ayahnya karena sering dimarahi, diomel-omeli bahkan dikatakan sebagai sebagai seorang homoseksual.  

 

(c)       Perspektif Hak, kewajiban dan Kebutuhan Anak

Anak memiliki hak yang berguna dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya. Pengakuan terhadap hak anak secara internasional dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui suatu konvensi internasional tahun 1989 dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam konvensi Hak Anak tersebut adalah :

a.    Non Diskriminasi (pasal 2), semua hak anak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa membedakan apapun.

b.    Kepentingan terbaik untuk anak (pasal 3), semua tindakan yang menyangkut anak pertimbangan utamanya adalah apa yang terbaik untuk anak.

c.    Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (pasal 6). Hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui atas kelengsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin.

d.    Penghargaan terhadap pendapat anak (pasal 12). Pendapat anak tgerutama yang menyangkut hal-hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.

Konvensi hak anak tersebut diratifikasi pemerintah Indonesia dalam Keppres No 36 tahun 1990.  Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa anak memiliki hak-hak  antara lain: hak untuk hidup layak, hak untuk berkembang, hak  untuk dilindungi, hak untuk berperan serta, hak untuk menolak menjadi pekerja anak, dan hak untuk memperoleh pendidikan.

          Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 Bab III anak telah dijamin atas hak-hak dan kewajibannya antara lain adalah sebagai berikut :

a.  Hak  untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4)

b.  Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. (pasal 5)

c.   Hak  untuk beribadah menurut agamanya, (pasal 6)

d.  Berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.(Pasal 6)

e.  Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.(pasal 7)

f.   Hak untuk mendapatkan pengasuhan pengganti (pasal 7)

g.  Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan social sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social (pasal 8)

h.  Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.(pasal 9)

i.    Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

j.    Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.(pasal 11)

k.  Hak anak yang menyandang cacat untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan social, dan pemeliharaan taraf  kesejahteraan social. (pasal 12)

l.    Hak untuk memperoleh perlindungan dan bantuan hukum, perlindungan dari segala bentuk kekerasan, penyalahgunaan dan diskriminasi (pasal 13,14,15,16,17 dan 18)

Selain memiliki hak sebagaimana dalam UU No 23/2002 pasal 19 diatur juga mengenai kewajiban setiap anak, yaitu :

a.    Menghormati orang tua, wali dan guru,

b.    Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman,

c.    Mencintai tanah air, bangsa dan Negara,

d.    Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sebagai sosok manusia, anakpun memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut harus dipenuhi, sehingga anak dapat tumbuh kembang secara wajar dan normal. Dubowitz (2000;11) menyebutkan bahwa kebutuhan dasar anak meliputi : makanan yang memadai, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, pendidikan, pengawasan, perlindungan dari lingkungan yang berbahaya, perawat asuhan, kasih saying, dukungan, dan cinta. Sedangkan menurut Elizabeth  Hurlock ( 1991 : 35  ), ada 3 ( tiga ) kebutuhan anak yang penting  untuk dipenuhi yaitu :

a.    Kebutuhan fisik, yaitu perawatan, kesehatan, sandang, pangan dan perumahan.

b.    Kebutuhan emosional meliputi kasih sayang, perhatian yang mendalam atau kesetabilan emosi dan perkembangan kepribadian.

c.    Kebutuhan sosial intelektual, yaitu mengembangkan intelektualnya, dengan cara bergaul dengan lingkungannya.

Kebutuhan – kebutuhan dasar tersebut sangat berperan penting  dalam membentuk kepribadian dan psikososial anak dimasa mendatang, oleh karena itu dalam kondisi apapun, kebutuhan anak tersebut harus dapat terpenuhi, agar perkembangan psikososial anak tidak mengalami masalah.

Kebutuhan anak pada dasarnya tidak dapat disama ratakan, pada tahap yang berbeda anak mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Pemenuhan kebutuhan anak akan berdampak pada pertumbuhan fisik, perkembangan intelektual, mental dan social. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan anak akan membawa dampak yang negative pada diri anak pada fase perkembangan selanjutnya. Anak akan menemui kegagalan dalam pemenuhan kebutuhannya akan mudah mengalami kegagalan dalam penyesuaian diri.

Secara spesifik kebutuhan anak sangat berbeda-beda sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Papalia (2001;14-16) membagi tahapan perkembangan dalam delapan tahapan, secara umum delapan tahapan tersebut adalah masa konsepsi (masa pembuahan sampai dilahirkan sebagai bayi), masa bayi, kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, remaja, dewasa awal, dewasa pertengahan, dan dewasa akhir atau lanjut usia.

Masa bayi, kebutuhan anak lebih ditekankan pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, perhatian dan kasih saying terutama dari orang tua atau pengasuhnya. Pada masa kanak-kanak awal, anak lebih banyak membutuhkan perhatian sehingga mampu mengembangkan control dirinya. Pada masa kanak-kanak akhir, seorang anak lebih banyak membutuhkan bergaul dengan teman sebayanya, dengan demikian anak dapat mulai mempelajari perilaku yang sesuai dengan lingkungannya.

Sedangkan pada masa remaja, anak mulai mengembangkan konsep dirinya untuk mencari identitas diri. Pada masa ini anak tidak hanya membutuhkan pendidikan yang memadai, tetapi juga kasih saying dan perhatian orang tua agar anak tidak salah dalam mengembangkan konsep dirinya. Disamping itu dukungan emosional dari peer group juga sangat dibutuhkan.  Mengapa demikian, karena dalam hal ini disebabkan kecenderungan kedekatan remaja dengan peer group-nya dari pada dengan orang tuanya sendiri.

Berdasarkan perspektif hak, kewajiban dan kebutuhan anak dapat disimpulkan bahwa Klien ED kurang mendapatkan hak-haknya terutama yang berkaitan dengan hak untuk beristirahat karena waktu luangnya dipergunakan untuk bekerja mencari nafkah, sedangkan kebutuhan-kebutuhan fisik, emosional dan sosial juga kurang mendapat pemenuhan dari keluarganya.

        1.        Analisis Sumber

Siporin (1975: 22-25) mengklasifikasikan sumber kesejahteraan sosial dalam tiga jenis yaitu internal dan eksternal, official dan non-official, manusia dan non-manusia. Edi Suharto (1997: 323) menjelaskan bahwa pada dasarnya sistem sumber kesejahteraan sosial merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah kesejahteraan sosial.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan praktikan, diketahui beberapa sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang dialami klien ED. Analisis sumber dilakukan dengan mengelompokkannya dalam sumber internal dan eksternal.

(a)    Sumber Internal

Sumber internal yang dimiliki Klien ED adalah segala sesuatu yang dimiliki Klien yang dapat dimanfaatkan  untuk memecahkan permasalahan yang dialami Klien ED. Sumber internal tersebut meliputi : keinginan yang kuat dari klien untuk keluar dari permasalahannya yaitu ingin memfokuskan pada sekolah dan berjualan mainan pada hari libur saja apabila orang tuanya bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya terutama kebutuhan sekolahnya. Disamping itu yang termasuk sumber internal juga adanya keuletan dan kegigihan klien untuk bekerja yaitu berjualan mainan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Klien sangat menyadari betapa pentingnya pendidikan formal sehingga tetap berkeinginan untuk menyelesaikan sekolah sampai lulus SMK demi masa depannya. Keluarga terutama orang tuanya juga sangat menginginkan klien ED untuk menyelesaikan sekolah sampai lulus SMK.

(b)       Sumber Eksternal

Sumber eksternal atau sumber yang terdapat diluar diri klien meliputi : Sekolah (SMK Negeri 8 Semarang), Keluarga besarnya yaitu pamannya yang mampu secara ekonomi sehingga bersedia membantu klien ED untuk membayarkan uang sekolah setiap bulannya sebesar Rp. 145.000, Pak De nya (kakak ibunya) yang sangat disegani dalam keluarga besar klien, Kegiatan remaja di RT 02 RW IV Kelurahan Sekaran – Gunung Pati, Puskesmas dan posyandu dan PKK. Sumber ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi permasalahan yang dialami Klien.

 

                      2.      Fokus Masalah

Berdasarkan hasil pemaparan analisis hasil asesmen maka fokus masalahnya adalah klien mengalami perlakuan salah dari orang tua yang berupa mental Abuse dari orang tua, terutama ayahnya yaitu sering dimarahi, diomel-omeli bahkan dikatakan sebagai seorang homoseksual. Karena klien merasa tidak tahan dengan perlakuan orang tua, menyebabkan klien bekerja dengan berjualan mainan setelah pulang sekolah hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa mencari uang sendiri tanpa harus  merengek-rengek minta pada orang tua.  Tetapi saat ini dengan bekerja dan mampu mencari uang sediri ini menyebabkan relasi klien ED dengan ayahnya kurang akrab bahkan jarang bertegur sapa dengan ayahnya.

 

                      3.       Refleksi Praktikan

Ø  Proses asesmen

Proses pelaksanaan asesmen yang dilakukan praktikan melalui  berberapa langkah sebagai berikut : Pertama langkah persiapan, Untuk mendapatkan data yang tepat mengenai situasi/masalah memerlukan peralatan atau tools asessmen yang dapat menjaring informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dialami seseorang. Penggunaan peralatan assesmen dengan tepat akan dapat menghasilkan data yang sangat diperlukan dalam proses pertolongan pada seseorang yang mengalami situasi yang mengganggu keberfungsian sosialnya.

Proses penyusunan instrument assesmen dilakukan praktikan dengan mempertimbangkan data-data dan informasi yang akan dijaring yaitu dengan melakukan observasi terhadap fenomena yang terjadi disekitar lokasi praktikum, terutama target yang akan dijadikan focus, kondisi lingkungannya atau gambaran lokasi praktik serta sistem sumber yang terdapat di lokasi praktik. Kemudian menentukan alat assesmen yang sesuai dengan informasi yang akan diperoleh. Langkah selanjutnya menyusun instrument assesmen. Instrument yang telah tersusun dikomunikasikan pada pembimbing. Pada tahap ini praktikan tidak mengalami hambatan.

Langkah  kedua pada proses perubahan terencana adalah pengumpulan informasi yang cukup dari klien dan stake Holder dalam lingkungan klien untuk memahami permasalahan atau perhatian akan situasi klien, memahami motivasi dan tujuan-tujuannya dan menilai kapasitas dan kesempatan untuk membuat perubahan. Dengan penggunaan peralatan asessmen akan dapat dijaring data yang dibutuhkan, dimana data tersebut diperoleh dan bagaimana hal tersebut diartikan. Pada tahap ini  merupakan proses pelaksanaan asesmen.

Langkah ketiga adalah pemahaman terhadap permasalahan yang dialami klien merupakan suatu hal yang harus dilakukan praktikan, agar dalam proses perencanaan perubahan untuk mengatasi permasalahan klien menjadi efektif. Identifikasi klien dan kebutuhannya, menganalisis hubungan sebab akibat, kedalaman, intensitas dan keluasan masalah  diperlukan agar praktikan mendapatkan /memperoleh gambaran masalah, perhatian, kebutuhan yang diperlukan. Penyampaian atau menginformasikan permasalahan yang dialami klien disampaikan dengan mempertimbangkan segala hal permasalahan klien  disampaikan dengan bahasa yang komunikatif agar permasalahan dapat dipahami oleh klien dan keluarganya. Penyampaian permasalahan pada significan other  seperti keluarganya dan pihak berkepentingan lainya memerlukan kehati-hatian untuk menghindari kesalah pahaman terutama pada klien potensial, akan sangat berbeda dengan klien aktual dimana klien dan keluarganya sudah menyadari permasalahan dan memerlukan pertolongan. Berkaitan dengan hal ini praktikan sangat mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan proses pertolongan yang akan diberikan dan tetap menjaga keseimbangan.

 

Ø  Pengalaman Yang Diperoleh dan Hambatan yang Ditemui

Langkah praktikan dalam  mengidentifikasi klien dan kebutuhannya dilakukan dengan dilakukan dengan tehnik wawancara, observasi dan studi dokumentasi. wawancara dilakukan untuk mengeksplorasi kebutuhan yang dirasakan klien. Wawancara dilakukan didua tempat yaitu di sekolah dan di rumah klien. Praktikan mendapatkan berbagai pengalaman yang sangat berarti pada dua tempat wawancara tersebut.

Praktikan mengalami kendala dalam melakukan wawancara di sekolah, khususnya berkaitan dengan waktu karena ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), sedangkan waktu istirahat hanya 15 menit. Disamping itu wawancara disekolah juga memberi kesan bahwa seorang guru sedang memanggil siswa dan mewawancarai siswanya, sehingga siswa semula kelihatan ketakutan. Demikian juga kesan dan komentar para guru termasuk wali kelas yang terasa kurang peduli pada klien karena sudah ada stigma bahwa klien sering berbohong, tidak dapat dipercaya atau pandai beralasan. Bahkan ada guru yang sangat kesal dengan klien dan berusaha untuk tidak menaikkan atau meluluskan klien. Wawancara yang dilakukan di rumah klien pertama kali juga menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran pada orang tua klien karena pada saat itu praktikan datang bersama waka kesiswaan dan guru BK. Disamping itu kedua orang tua klien juga menemui praktikan sehingga sulit untuk mengungkap karakter sebenarnya masing-msing orang tuanya.

 

 

Ø  Upaya Mengatasi Hambatan

Adapun langkah yang diambil praktikan dalam mengatasi berbagai hambatan di lapangan yaitu sebelum melakukan wawancara praktikan menjelaskan tentang peran dan fungsi praktikan sekalipun juga sebagai guru di SMK Negeri 8 Semarang baik kepada siswa maupun kepada orang tua klien. Setelah diberi penjelasan klien dan orang tua klien merasa nyaman dan merasa terbantu dengan kehadiran praktikan.

 

Upaya mengatasi hambatan yang berkaitan dengan waktu wawancara dengan klien dilakukan pada saat istirahat maupun setelah selesai KBM dan jika memungkinkan pada saat KBM dengan ijin guru pelajaran pada saat itu. Untuk mendapatkan data sebenarnya tentang karakter atau perlakuan orang tua terhadap klien, maka praktikan memberikan surat panggilan pada orang tua ke sekolah dalam waktu yang berbeda.

 

Ø  Pelajaran Yang Dapat Dipetik

Pelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan asesmen ini adalah proses ini sangat membutuhkan penguasaan pengetahuan yang cukup sehingga dalam memberikan penjelasan terhadap suatu fenomena terutama dalam memahami permasalahan  dan situasi klien dapat dilakukan dengan tepat.

Dalam pelaksanaan asesmen terutama dalam aplikasi peralatan asesmen memerlukan seni dan ketrampilan yang memadai artinya aplikasi di lapangan sangat menyesuaikan kondisi yang terjadi di lapangan. Penyesuaian dengan kondisi lapangan memungkinkan keberhasilan dalam melakukan asesmen, dimana informasi yang diperlukan dapat diperoleh secara lengkap.

 

 

10.  Perencanaan Program Intervensi

Perencanaan merupakan proses kegiatan menyusun program atas dasar data dan informasi yang terkumpul dari pelaksanaan asesmen. Penyusunan rencana intervensi ini berisikan serangkaian kegiatan yang dimulai dari proses persiapan  hingga diperoleh hasil perencanaan yaitu berupa program intervensi. Untuk mengatasi masalah yang dialami klien ED, praktikan merencanakan untuk melaksanakan program intervensi yang berupa:

.    1).   Nama program

Terapi Attachment Base Family Therapy- Adolescent untuk orang tua yang memiliki pola asuh / melakukan perlakuan salah pada remaja

2)    Latar belakang

Berdasarkan hasil asesmen melalui wawancara, observasi serta studi dokumentasi dan dipertajam dengan asesmen lanjutan yaitu genogram dan ecomap maka intervensi yang tepat untuk klien ED dan konstelasi masalahnya adalah dengan menggunakan tehnik terapi ABFT-A (ATTACHMENT-BASE FAMILY THERAPY – ADOLESENCE. (handbook of clinical family therapy, Jay. L. Lebow, 2005 : 35)

 

ABFT treatment focuses first on helping the family identify and discuss past and present conflicts that have violated the attachment bond and damaged trust…… We have begun to adapt ABFT to working with anxious adolescents (Siqueland, Rynn, & Diamond, 2005). This approach combines ABFT with individual cognitive behavioral treatment”.  ).

 

“Fokus utama ABFT treatmen untuk membantu keluarga dengan mengidentifikasikan dan mendiskusikan serta menggambarkan konflik yang mengganggu kedekatan serta rusaknya kepercayaan antara keluarga….. (Siqueland, Rynn, & Diamond, 2005), Pendekatan ini menggabungkan ABFT dengan CBT secara individual”.

 

Intervensi ini didasarkan bahwa tidak saja keluarga yang akan mendapat intervensi akan tetapi klien pula juga akan memperoleh intervensi dalam proses intervensi ini. Sehingga dengan hanya menggunakan terapi ini diharapkan efek positif intervensi yang ada diperuntukkan bagi klien dan keluarga klien. 

Didasarkan hasil asesmen serta analisis kebutuhan intervensi maka program ini dipilh karena mengingat fokus masalah yang dialami klien adalah tentang pola pengasuhan yang salah dari keluarga klien yang mengakibatkan masalah kurangnya motivasi belajar pada klien karena orang tua kurang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien dan melakukan perannya sehingga klien bekerja dengan cara berjualan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

3)  Maksud  dan  tujuan

Maksud dari terapi keluarga dengan menggunakan tehnik ABFT-A ini adalah untuk memperbaiki pola pengasuhan orang tua klien serta menyelesaikan konflik orang tua dan anak.  Selanjutnya dalam Buku Handbook of clinical family therapy, Jay. L. Lebow, 2005 : 35 disebutkan :

“ABFT-A targets four primary processes: parental beliefs about anxiety, family modeling of anxious behavior, encouragement of avoidance, and psychological control related to communication and negotiation of conflict.

 

Dari kerangka model terapi ini maka tujuan dari kegiatan ini adalah :

a)     Memperbaiki pola pengasuhan dari orangtua kepada klien

b)     Perlakuan bapak yang masa bodoh terhadap anak serta konflik dalam keluarga untuk menghindarkan klien dari perasaan cemas dan kurang motivasi belajar.

c)     Menyusun kembali (negosiasi) tentang peran dan tugas masing-masing keluarga berkaitan dengan interaksi dalam keluarga.

 

4)  Strategi & mekanisme kerja

a)     Membentuk Kembali Hubungan

1)  Membangun kehangatan hubungan antara klien dengan bapaknya melalui kegiatan terapi family ini.

2)  Antara klien dengan bapaknya terjalin hubungan yang erat kembali (bonding)

3)  Menemu kenali duduk masalah diantara anggota keluarga

4)  Memahami kesalahan serta persepasi salah antara anggota keluarga

b)      Membangun Kerja Sama Dengan Remaja

1)    Melalui konseling individual mendiskuskan berbagai tugas penyelesaian masalah yang dialamai klien.

2)    Membangun kepercayaan diri klien tentang persoalan tugas perkembang klien (baik ciri sekunder maupun primer) agar klien tidak merasa cemas.

3)    Membangun kepercayaan diri klien untuk membangun relasi dengan sebaya dengan lebih banyak lagi teman.

4)    Memperkuat ego klien untuk mampu menghadapi berbagai sumber stress agar mampu mengeloanya dengan tepat serta memiliki pertahanan diri yang kuat.

c)      Membangun Kerja Sama Dengan Orangtua

1)    Melalui kegiatan family terapi orangtua semakin menyadari perlakuan yang salah kepada klien sebagai penyebab masalah kurangnya motivasi belajar pada siswa.

2)    Menyusun agreemen tentang pola asuh dan perlakuan yang harus dilakukan sesuai peran serta menghindari pola asuh yang dapat menimbulkan penyebab pencetus bagi klien.

3)    Secara menyeluruh dari kerabat melalui bapak menyatukan pola asuh yang sama kepada klien ED.

d)     Tugas Kasih Sayang

1)    Memberikan tugas kepada keluarga untuk saling memperlakukan dengan tepat setiap reaksi yang ada dari masing-masing anggota keluarga.

2)    Memberikan tugas kepada anggota keluarga untuk saling ,mendukung dan membantu klien ED untuk mendorong perkembangan yang maksimal.

e)     Promoting Competency

1)    Pertemuan berkala setiap satu minggu sekali untuk melihat, mengukur serta menjelaskan perkembangan masing-masing anggota dalam berinteraksi.

2)    Dalam pertemuan menekankan pada sejauh mana perkembangan masing-masing anggota keluarga serta kesulitan apa yang ditemukan selama proses intervensi.

3)    Merumuskan langkah tentang bagaimana pemecahan masalah jika terjadi kesulitan

4)    Kegiatan ini sekaligus sebagai model pemecahan masalah bagi keluarga sekaligus menjadikan kegiatan “habit” dalam proses pertolongan tanpa praktikan.

 

 

5).  Metode dan tehnik

Metode yang digunakan adalah metode pekerjaan sosial indvidu (Social Case Work) dengan menggunakan pendekatan teori ekosistem. Dimana Pendekatan ekosistem memberikan pandangan yang lebih spesifik mengenai dunia, dan cenderung menekankan pada sistem individu dan keluarga. Tehnik yang dilakukan adalah Terapi Family dengan menggunakan ABFT-A sebagai terapinya. Hal ini dipertimbangkan oleh praktikan dengan mndasarkan pada fakta yang ditemukan dilapangan berkaitan dengan gejala serta penyebab masalah klien.

6).  Sasaran

a)    Bapak ED

b)    Ibu ED

c)    Klien ED

d)    Adik klien

 

7).  Pengorganisasain

Dalam kegiatan ini membutuhkan ketepatan serta kesuaian kegiatan jadwal dari masing-masing anggota untuk bisa bertemu dalam kegiatan terapi keluarga. Dalam kegiatan ini dilaksanakan kegiatan 2 kali sesi, pada kegiatan terapi keluarga. Mengingat perencanaan waktu yang hanya 2 minggu bagi pelaksanaan intervensi ini maka  jadwal pelaksanaan menyesuaikan dengan kebutuhan dan aktifitas keluarga ED. Kegiatan dilaksanakan di rumah klien berdasar kesepakatan dengan pihak keluarga dan klien.

 

8).  Alat ukur

Dengan kegiatan ini serta peran serta dari orangtua dalam proses intevensi diharapkan mencapai target dibawah ini :

a)     Terlaksananya kegiatan terapi keluarga sesuai jadwal.

b)     Perlakuan bapak yang penuh kasih sayang dan tidak terjadi konflik

c)     Adanya komitmen dalam pola asuh antara orangtua dan klien.

d)     Adanya komitmen tentang peran dan tugas anggota keluarga.

e)     Meningkatnya motivasi belajar pada klien ED




Studi Kasus "ED"

  A.               STUDI   KASUS “ED” 1.     Identitas Nama Klien                          : ED        Tempat/Tanggal Lahir          :...